in

Rupiah di Titik Terendah Tahun Ini

Hampir Tembus Rp 13.500 per USD

Rupiah mencapai titik terendahnya tahun ini. Kemarin (29/9) kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan mata uang garuda bertengger di level Rp 13.492 per dolar AS (USD). Sementara itu, level tertinggi kurs rupiah terjadi pada 11 September 2017 yang menempatkan rupiah di harga Rp 13.154 per USD.

Artinya, dalam bulan yang sama, rupiah sempat menempati posisi tertingginya sekaligus level terendahnya sepanjang 2017. Sebuah fluktuasi yang amat tajam.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D. W. Martowardojo menuturkan, melemahnya rupiah kali ini disebabkan faktor eksternal. Terutama kebijakan fiskal di Negeri Paman Sam. “Di AS, Presiden Donald Trump mendapatkan dukungan dari Partai Republik tentang reformasi di bidang perpajakan. Kalau tax rate untuk individu atau korporasi bisa turun dari 30 persen ke 20 persen, itu positif bagi AS,” katanya kemarin (29/9).

Bank Sentral AS (The Fed) juga diperkirakan menaikkan kembali suku bunga acuannya pada akhir tahun ini serta berencana menurunkan neracanya Rp USD 10 miliar per bulan. Menurut Agus, hal tersebut sudah diantisipasi pasar agar tidak ada kekhawatiran yang berlebih. Di luar itu, perekonomian negara-negara maju seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan negara-negara di Eropa juga terus menguat.

“Rupiah memang melemah dalam empat hari terakhir. Apa yang terjadi pada rupiah itu juga dirasakan negara-negara lain di regional kita,” lanjutnya.

Namun, dari dalam negeri, Agus meyakinkan bahwa perekonomian domestik tetap baik. Hal tersebut bisa dilihat dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 34 persen. Meski meningkat, Agus merasa rasio itu masih aman karena di bawah ambang batas 60 persen.

Selain itu, indeks harga konsumen akhir bulan ini diperkirakan deflasi. Hal tersebut mendukung capaian sasaran inflasi BI 3–5 persen akhir tahun ini. 

Dari sisi neraca dagang, surplus juga terus meningkat. “Kalau dibandingkan, neraca perdagangan Januari sampai Agustus 2017 dengan periode yang sama tahun lalu naik dari USD 5 miliar menjadi USD 9 miliar,” sambungnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan menyebutkan, pelemahan rupiah akan berdampak negatif pada aktivitas impor. “Terutama impor bahan baku. Biasanya yang paling terasa teman-teman pengusaha industri makanan dan minuman,” ujar Erwin kemarin (29/9).

Untuk itu, pengusaha berharap pelemahan tersebut hanya bersifat jangka pendek. Sebab, jika terjadi dalam jangka yang pendek, pelemahan rupiah tidak berpengaruh secara signifikan. “Apalagi, kondisi impor sekarang memang banyak yang lagi tiarap. Kalau jangka pendek mungkin aman karena rata-rata aktivitas yang dijalankan merupakan kontrak tahun sebelumnya,” terang Erwin.

Hal senada diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana. Dia menyebutkan bahwa pelemahan rupiah terjadi secara gradual sejak dua minggu terakhir. “Pada level hari ini cukup mengkhawatirkan dan menjadi sinyal bagi BI untuk mempertimbangkan perlu intervensi atau menunggu,” ujarnya.

Menurut Danang, kalangan industri memprediksi hal tersebut sejak beberapa minggu lalu. “Saat ini di Rp 13.500 masuk pada ambang psikologis pelaku pasar. Kalangan industri harus melakukan antisipasi dengan cepat. Sebab, kebutuhan USD untuk bahan-bahan baku produksi mencapai 60 sampai 70 persen impor,” tambahnya.

Kondisi itu lebih berbahaya, lanjut Danang, jika rupiah jatuh kembali di Rp 15.000 di akhir November 2017. “Hal tersebut akan mengakibatkan rush beli meningkat dan efek domino,” tuturnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Teliti Pelanggaran Bisnis Gula

15 Orang Diduga Perompak Kapal