Tahapan Pemilu 2019 yang seharusnya dimulai pada Juni 2017, yaitu 22 (dua puluh dua) bulan sebelum hari pemungutan suara sudah semakin dekat. Di satu sisi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu masih jauh dari pengesahan. Hal ini berdampak pada belum dilakukannya fit and proper test pada calon anggota KPU dan Bawaslu RI periode 2017-2022.
Padahal, komisioner penyelenggara pemilu di tingkat pusat ini sudah harus mulai bertugas 13 April mendatang. Sementara itu, Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu DPR RI alih-alih menyegerakan perampungan perubahan regulasi tersebut, justru mewacanakan anggota KPU berasal dari partai politik (Kompas, 21 Maret 2017). Wacana ini berkembang sebagai “oleh-oleh” sepulang studi banding Pansus ke Jerman dan Meksiko. Pansus menilai pemilu di Jerman sukses dan berlangsung aman karena anggota KPU-nya merupakan perwakilan partai politik.
Pola keanggotaan penyelenggara pemilu yang terdiri dari perwakilan partai politik ini pernah diterapkan di Indonesia pada Pemilu 1999. Gejolak reformasi dan euphoria lepas dari Orde Baru memunculkan semangat untuk menyelenggarakan sistem pemilu berbasis multipartai dan memberikan dampak pada desain keanggotaan KPU.
Pada waktu itu berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1999, KPU beranggotakan 53 orang komisioner yang terdiri dari 48 orang perwakilan partai politik peserta pemilu dan 5 orang perwakilan pemerintah dan dipimpin oleh mantan Menteri Dalam Negeri, Rudini, serta bertanggung jawab pada presiden. Komposisi “gemuk” ini ternyata gagal dalam melakukan penetapan hasil Pemilu 1999.
Kegagalan ini dimulai dari tidak ditandatanganinya hasil pemilu oleh 27 anggota KPU perwakilan partai politik, disusul perbedaan pendapat dalam menetapkan pembagian kursi dan sisa kursi.
Dalam dinamika penetapan hasil pemilu, mayoritas anggota KPU utusan partai politik menyebutkan bahwa mereka menolak hasil pemilu karena terdapat pelanggaran. Namun ketika pengawas pemilu meminta bukti pelanggaran dimaksud, hal tersebut pun tidak dapat dipenuhi. Disinyalir, penolakan hasil dilakukan karena partai politik yang mereka wakili tidak mendapat jumlah suara yang menggembirakan pada waktu itu.
Karena mayoritas anggota KPU pada Pemilu 1999 menolak hasil pemilu, maka KPU terpaksa menyerahkan keputusan kepada Presiden B.J. Habibie, yang kemudian menyerahkannya kembali pada Panitia Pengawas Pemilu yang waktu itu dibentuk oleh Mahkamah Agung. Panwaslu merekomendasikan hasil tersebut sah karena penolakan tidak didasarkan atas bukti-bukti yang jelas.
Kebuntuan penetapan hasil ini akhirnya diselesaikan Presiden B.J. Habibie dengan menetapkan hasil Pemilu pada tanggal 26 Juli 1999. Persoalan belumlah terhenti sampai di situ. Masalah berlanjut pada perbedaan pendapat tentang pembagian kursi. Jalan keluar yang dipilih adalah dilakukannya votting mengenai penggunaan metode stambus accord (penggabungan sisa suara).
Pada proses ini, deadlock kembali terjadi dengan adanya anggota KPU yang melakukan walk-out. Kompleksitas keanggotaan KPU dari utusan partai politik ini harus ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ada anggota KPU yang tidak fokus dalam menjalankan tugasnya karena melakukan kampanye pada waktu bersamaan disebabkan yang bersangkutan juga mencalonkan diri sebagai caleg pada Pemilu 1999 tersebut (NDI and Carter Center 1999: 7).
Fakta sejarah ini harusnya tidak diabaikan oleh Pansus RUU Pemilu yang mewacanakan hal ini kembali. Kondisi sosial politik Indonesia pada tahun 1999 berbeda dengan kondisi saat ini. Saat ini, perjalanan demokrasi Indonesia melalui mekanisme pemilu yang demokratis sudah berada pada jalur yang benar, walaupun masih diperlukan banyak pembenahan regulasi dan teknis penyelenggaraan pemilu.
Transisi demokrasi sejak awal reformasi pelan tapi pasti telah mengalami progres menuju tahapan pendalaman demokrasi dengan diberlakukannya pemilu serentak (concurrent election) pada 2019 mendatang. Idealnya, legislatif harus mendukung grand design ini dengan membuat regulasi-regulasi yang mendukung, bukan dengan regulasi yang membuat kondisi maju mundur seperti isu yang berkembang saat ini. Maka tak heran jika beredar dugaan di kalangan aktivis prodemokrasi bahwa wacana ini dikembangkan Pansus RUU Pemilu sebagai upaya “menyusupkan” pengaruh parpol di KPU demi kepentingan kelompoknya pada Pemilu 2019.
Lagipula, Jerman dan Meksiko yang menjadi negara rujukan Pansus, iklim demokrasinya tidak sama dengan Indonesia. Belajar pemilu ke Jerman, menurut Guru Besar Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, sangat tidak relevan, karena sistem pemilu mereka berbeda dengan Indonesia. Jerman menganut sistem pemilu campuran (mixed member proportional) sedangkan Indonesia sejak lama menganut sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
Kemudian Meksiko yang oleh Pansus dijadikan lokasi studi banding karena alasan pemilu elektronik (e-voting) justru telah meninggalkan metode ini sejak tahun 2005 dan kembali pada pemungutan suara manual seperti yang kita lakukan selama ini. Pun fakta bahwa keanggotan Instituto Federal Electoral (IFE) atau KPU Meksiko mengambil model independen sama dengan model keanggotaan KPU Indonesia saat ini, tidak boleh diabaikan Pansus.
Besar harapan masyarakat agar Pansus RUU Pemilu bekerja benar tanpa membuat “kegaduhan” baru dengan perubahan regulasi yang dramatis di tengah sempitnya tenggat waktu pengesahan RUU Pemilu yang baru. (*)
LOGIN untuk mengomentari.