Salah satu pertanyaan yang senantiasa hadir di setiap krisis bangsa ini adalah; “Apakah kita sudah merdeka?” Kemerdekaan dari penjajahan Belanda telah didapat pada 17 Agustus 1945 lalu. Tapi kemerdekaan 100 persen yang dulu pernah digaungkan kelompok pemuda tak pernah benar-benar didapat karena proses menjadi Indonesia juga tak pernah menjadi bagian dari wacana keindonesiaan sampai hari ini.
Naturalisasi dan patriasi kewarganegaraan menjadi isu krusial yang menghambat proses wacana menjadi Indonesia. Pada kasus naturalisasi, demi menggenjot prestasi sepakbola nasional, beberapa tahun lalu terjadi naturalisasi banyak pemain asing yang ada di dalam dan luar negeri. Mereka yang dianggap memiliki “darah” atau “cinta” Indonesia diberikan kewarganegaraan baru untuk mendukung tim nasional yang akan berlaga di iven internasional. Pada saat bersamaan, ratusan orang “darah murni” Indonesia mengubah status kewarganegaraan mereka menjadi warganegara asing karena merasa diabaikan pemerintah. Mereka adalah profesional sukses yang dihargai tinggi di negara barunya, tapi tetap merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Pertanyaan retoris dari dua hal di atas, siapakah yang sah dianggap orang Indonesia tulen?
Wacana menjadi Indonesia 100 persen tak pernah bisa diselesaikan melalui mekanisme administratif, seperti halnya program naturalisasi lewat pemberian paspor kewarganegaraan Indonesia bagi orang asing, atau mencap pengkhianat para eks-warganegara Indonesia tersebut. Menjadi Indonesia 100 persen merupakan persoalan bagaimana mentransformasi diri pada tiga karakter berkeindonesiaan; mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Mengingat sejarah
Sumpah Pemuda para kaum pergerakan nasional di awal abad ke-20 merupakan pintu utama menjadi Indonesia. Ketiganya disusun sedemikian rupa, tak hanya bagian dari semangat anti-kolonialisme, tapi juga sebuah mekanisme bagaimana jalan menjadi orang Indonesia tulen.
Bertanah air Indonesia merupakan pernyataan yang berani dalam himpitan alam kolonial kala itu. Bertanah air Indonesia berarti menghilangkan identitas kewargaan bentukan negara kolonial, maupun sistem feodal yang masih berdiri. Hanya ada orang Indonesia, bisa indo, indies, priyayi, abangan, atau santri. Maka dari itu, menjadi orang Indonesia melalui penyataan bertanah air Indonesia berarti menanggalkan segala atribut kolonialisme dan feodalisme yang masih melekat, dan salah satu tokoh yang memilih menjadi Indonesia 100 persen melalui sumpah ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dari Kesultanan Yogyakarta.
Sri Sultan HB IX adalah raja berkuasa di Kerajaan Yogyakarta. Ia dibesarkan dalam alam kolonial yang memberi banyak keuntungan dirinya di segi pendidikan, gaya hidup, dan kelangsungan kerajaannya. Ia tak terlalu akrab dengan tokoh pergerakan nasional, baik selama studi di Belanda, maupun ketika menjabat sebagai raja Yogyakarta. Tapi para tokoh pergerakan nasional tak pernah menyangka bahwa Sultan HB IX akan menjadi pendukung pertama dan utama Proklamasi 17 Agustus 1945, serta Republik Indonesia. Sultan HB IX menyatakan kerajaannya bagian dari republik, dan menyediakan keratonnya sebagai kantor presiden Indonesia di masa revolusi. Apa yang dilakukan Sultan HB IX sangat berbeda dengan raja-raja lokal yang masih mendukung NICA, pemerintahan sipil Belanda yang datang menjajah pasca Perang Dunia II, di periode perang revolusi 1945-1949. Sultan HB IX menunjukkan menjadi Indonesia 100 persen dengan mengkhiri identitasnya sebagai raja, dan memilih bertanah air baru, Indonesia, meski untuk itu statusnya turun sebagai warganegara, sama dengan rakyat yang dipimpinnya selama ini.
Pernyataan sumpah kedua, berbangsa Indonesia, sengaja diletakkan setelah bertanah air, tiada lain dimaksudkan pengakuan perlunya wadah penyatu beragam identitas kultural, sosial, dan politik golongan yang ada di Indonesia. Bangsa Indonesia adalah realitas yang terwujudkan melalui rajutan etnis, agama, dan asal usul yang membentuk rupa baru. Keinginan memiliki identitas kebangsaan Indonesia inilah penyebab Tan Malaka kembali ke Indonesia di awal Revolusi, dan mendukung tegaknya negara Indonesia melawan tentara Belanda di Jawa.
Tan mengawali pencarian identitas kebangsaan melalui pendidikan kolonialnya di Sekolah Raja (kwekschool), Bukittinggi. Ia berharap menjadi kebanggaan kaumnya di Suliki, Sumatera Barat sana. Ia ingin menjadi guru kolonial sekembali dari negeri Belanda, tapi hal itu tak pernah kesampaian. Ia gagal dalam tes menjadi guru, dan terdampar di Deli menyaksikan kekejaman sistem kolonial yang dipujanya. Ia pergi ke Jawa dan menjadi komunis, tapi segera ditanggalkan baju komunisnya seketika berseberangan dengan Stalin dan organisasi komunis internasional. Ia kemudian dianggap ancaman banyak pihak, tapi dipuja para tokoh pergerakan Filipina, dan mengganti nama di tiap tempat barunya demi menghindari pencarian atas dirinya sampai kembali ke tanah air beberapa hari setelah Proklamasi disampaikan Sukarno-Hatta. Ia memilih berkecimpung dalam Revolusi 1945-1949, dan menyuarakan “Merdeka 100 persen” sebagai bukti kecintaannya pada bangsa Indonesia. Ia mati ditembak sebagai anak bangsa, bukan sebagai pelarian atau pemberontak warga negara Hindia-Belanda.
Menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, sebagai mekanisme ketiga menjadi Indonesia 100 persen bukan semata bisa baca-tulis dalam Bahasa Indonesia. Tanah Indonesia kaya ragam etnis yang hidup dengan bahasa daerah dan dialeknya masing-masing, demikian juga mereka mengenal bahasa-bahasa asing lain sebagai sumber pengetahuan baru. Tapi bangsa Indonesia memerlukan satu bahasa bersama yang dapat dimengerti semua orang. Maka dipilihlah bahasa Melayu yang sejak lama menjadi bahasa pengantar anak negeri ketika berinteraksi sosial. Menariknya tidak Bahasa Melayu itu yang dipakai sebagai nama bahasa persatuan. Tidak pula Bahasa Jawa yang kaya kosakata dibanding Bahasa Melayu. Bahasa persatuan dinamakan Bahasa Indonesia karena ia tak semata menyatukan keinginan anak bangsa dalam satu rupa bahasa, tapi sekaligus mengkreasikan kepribadian baru yang menghayati makna satunya tanah air dan satu bangsa. Pilihan yang dibuat dr Ernest Douwes Dekker dengan memilih menjadi orang Indonesia, dan menukar namanya menjadi Danudirja Setiabudi merupakan salah satu contoh nyata menjadi Indonesia 100 persen melalui pemaknaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Sri Sultan HB IX, Tan Malaka, dan dr Ernest Douwes Dekker merupakan sebagian pola pencarian dan penemuan keindonesiaan seseorang yang sadar memilih, bukan mewarisi masa lalunya. Ketiganya merupakan sebagian kecil dari tokoh-tokoh nasional yang menukar warisannya dengan memilih identitas baru sebagai orang Indonesia 100 persen.
Bangga
Menjadi Indonesia 100 persen adalah pilihan, bukan warisan. Pilihan itu mestinya dibuat berdasarkan kebanggaan 100 persen atas tanah air Indonesia, kebangsaan Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Tapi keberanian memilih dan kebanggaan itu menjadi rusak ketika lembaga-lembaga negara dan simbol-simbol kebangsaan tidak mampu mengemban amanat Sumpah Pemuda hari ini.
Banyak pejabat negara yang lebih memilih memakai bahasa asing untuk menekankan maksudnya ketimbang Bahasa Indonesia, demikian juga di daerah dari bupati sampai lurah, lebih suka berbahasa lokal menyampaikan program-program pemerintah. Masyarakat diajak kembali ke warisan kulturalnya, pada etnisitasnya, pada tanah ulayatnya, bahkan pada bahasa daerahnya, sekaligus menenggelamkan makna keindonesiaan secara luas.
Kampus-kampus di Indonesia juga memakai standar Bahasa Inggris atas capaian prestasi akademik dan intelektual para dosennya. Menulis di jurnal berbahasa Inggris yang terindeks lembaga asing dianggap lebih tinggi ketimbang di jurnal Bahasa Indonesia terakreditasi nasional. Bahkan syarat wajib meraih gelar profesor adalah dimuatnya artikel ilmiah si dosen di salah satu jurnal internasional terindeks scopus atau sejenisnya, bukan seluas apa dampak risetnya terhadap pembangunan Indonesia.
Membangun Indonesia masa depan memerlukan cangkang kukuh prinsip kemerdekaan dan bangga menjadi Indonesia 100 persen. Mengutip puisi H Agus Salim (1930); “Mana tanah air kita? (yakni) Indonesia meliputi semuanya. Apa kebangsaan kita? (adalah) Indonesia satu nasib dan asalnya. Apa keikatan kita? (yaitu) Tujuan kita yang sama…meninggikan derajat Indonesia.” Maka apakah kita sudah 100 persen menjadi orang Indonesia? (*)
LOGIN untuk mengomentari.