» Hampir semua negara alami kesulitan karena perlambatan ekonomi.
» Perlu kesepakatan bersama terkait skema pemberian utang dan penangguhan cicilan.
JAKARTA – Pertemuan virtual para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara kelompok 20 (G20) menghasilkan 16 komunike bersama. Dari komunike tersebut, pada pernyataan poin keenam, menyebutkan mereka menyambut baik kemajuan yang dicapai di bawah Debt Service Suspension Initiative/DSSI atau Prakarsa Penangguhan Layanan Utang.
Sebanyak 42 negara miskin hingga 18 Juli 2020 telah meminta ke DSSI untuk mendapat manfaat penangguhan pembayaran utang dan diperkirakan akan disetujui sebesar 5,3 miliar dollar AS pada 2020.
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Kelompok Bank Dunia (WBG) sendiri telah mengusulkan kerangka pemantauan fiskal dan proses untuk memperkuat kualitas dan konsistensi data utang agar lebih transparan.
“Untuk memberikan dukungan maksimal kepada negara yang memenuhi syarat DSSI, kami akan terus berkoordinasi erat dalam implementasinya. Semua kreditor bilateral resmi harus mengimplementasikan inisiatif ini sepenuhnya secara transparan,” sebut komunike G20.
Dengan tetap melindungi peringkat mereka saat ini, dengan biaya pendanaan yang rendah, Bank Pembangunan Multilateral (MDBs) didorong untuk mendukung DSSI, termasuk dengan memberikan aliran dana bersih ke negara-negara yang memenuhi syarat sesuai skor yang ditetapkan DSSI.
“Kami mencatat kerangka acuan dari Institute of International Finance (IIF) untuk partisipasi sektor swasta secara sukarela. Perlu kemajuan lebih lanjut dengan mendorong kreditor swasta untuk berpartisipasi dalam DSSI dengan persyaratan yang sama saat ada permintaan dari negara yang memenuhi syarat. Kami akan mempertimbangkan kemungkinan perluasan DSSI pada paruh kedua tahun 2020, dengan mempertimbangkan perkembangan situasi pandemi Covid-19 dan temuan laporan dari IMF dan WBG tentang kebutuhan likuiditas negara-negara yang memenuhi syarat,” sebut G20.
Keterlibatan kreditor swasta itu akan dibahas pada pertemuan G20 Oktober mendatang sembari menunggu pembaruan penerapan prinsip sukarela dari IIF, termasuk repositori data.
Situasi Sulit
Menanggapi makin tingginya beban utang dan upaya permintaan penangguhan, Ekonom dari Unika Atma Jaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan hampir semua negara di dunia, termasuk negara maju juga mengalami situasi sulit karena perlambatan ekonomi.
“Sebagai dampaknya penerimaan negara akan menurun yang berakibat pada kemampuan membayar cicilan pokok dan bunga utang akan terganggu,” kata Suhartoko.
Bagi negara miskin, tentu pilihannya hanya mengajukan rescheduling (penundaan jadwal pembayaran) atau restrukturisasi (penundaan pembayaran pokok, namun bunga tetap dibayar) jika mereka ingin menjaga reputasinya di dunia internasional. Hal itu bisa dilakukan dengan mengajak negara-negara lain untuk mengajukan skema tersebut.
“Pilihan terakhir, mereka terpaksa ngemplang dengan segala konsekuensinya. Jika situasinya dead lock biasanya ada konvensi,” kata Suhartoko.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economy (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan kondisi saat ini merupakan kondisi yang tidak biasa dilihat dari sudut pandang ekonomi, karena Covid-19 telah menghantam dari sisi permintaan (demand) atau daya beli masyarakat, maupun juga dari sisi pasokan (supply) atau pelaku usaha. Oleh karena itu, pendekatannya pun tidak cukup dengan strategi yang biasa.
“Memang harus ada kesepakatan bersama dari negara G-20 dan lembaga mulitlateral pemberi pinjaman terkait cara pemberian utang dan penangguhan cicilan di saat seperti sekarang. Salah satu bentuk kesepakatannya misalnya menyasar suatu isu yang berkembang seperti pemanasan global,” kata Yusuf.
Negara-negara miskin dan negara berkembang hanya bisa memanfaatkan fasilitas penangguhan pembayaran utang sementara, jika mereka berkomitmen menurunkan indikator-indikator merusak lingkungan di negara mereka khususnya setelah pandemi berakhir. ers/yni/E-9