Pemulihan Ekonomi I Ekonomi Kembali dari Krisis Dalam, tapi Bencana Masih Jauh dari Selesai
» Jumlah stimulus fiskal yang digelontorkan secara global sudah mencapai 12 triliun dollar AS.
» Utang meningkat karena respons fiskal terhadap krisis dan kerugian besar pada turunnya produktivitas.
WASHINGTON – Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, pada Selasa (6/10) waktu Washington, mengatakan program pemulihan ekonomi ke depan masih penuh dengan ketidakpastian. Meskipun langkah-langkah di bidang kesehatan bisa lebih cepat seperti penemuan vaksin dan terapi untuk mempercepat pemulihan, namun bisa juga menjadi lebih buruk, terutama kalau terjadi peningkatan wabah parah yang signifikan.
Menurut dia, risiko tetap tinggi dari meningkatnya kebangkrutan dan penilaian yang meluas di pasar keuangan, dan banyak negara menjadi lebih rentan. Tingkat utang mereka meningkat karena respons fiskal mereka terhadap krisis dan kerugian besar pada output dan pendapatan.
“Kami memperkirakan bahwa utang publik global akan mencapai rekor tertinggi sekitar 100 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020,” kata Georgieva dalam pidatonya secara daring dari Washington pada peringatan 125 tahun London School of Economics di mana dia tercatat sebagai alumni.
Selain utang, risiko yang menyebabkan perekonomian semakin parah akibat kehilangan pekerjaan, kebangkrutan, dan gangguan pendidikan. Dengan hilangnya kapasitas tersebut, dia memperkirakan output global akan tetap jauh di bawah proyeksi prapandemi dalam jangka menengah.
“Untuk hampir semua negara, ini akan menjadi kemunduran bagi peningkatan standar hidup,” kata Georgieva.
Krisis juga membuat ketimpangan semakin parah karena dampaknya tidak proporsional terhadap pekerja berketerampilan rendah, perempuan, dan kaum muda. Jelas ada pemenang dan pecundang sehingga perlu mencari jalan keluar.
Revisi Naik
Lebih lanjut, dia memaparkan bahwa ekonomi global mengalami penurunan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada kuartal kedua tahun ini karena sekitar 85 persen ekonomi dunia mengalami lockdown (karantina wilayah) selama beberapa minggu.
IMF pada bulan Juni memproyeksikan kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) global yang parah pada tahun 2020. Namun, gambaran saat ini sudah kurang mengerikan dibanding sebelumnya.
“Kami sekarang memperkirakan bahwa perkembangan pada kuartal kedua dan ketiga agak lebih baik dari yang diharapkan, memungkinkan untuk sedikit revisi ke atas pada perkiraan global untuk 2020,” kata Georgieva.
Secara keseluruhan, negara-negara telah menggelontorkan anggaran sekitar 12 triliun dollar AS untuk mendukung kebijakan fiskal guna membiayai rumah tangga dan perusahaan. Demikian juga dengan kebijakan moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mempertahankan aliran kredit, dan membantu jutaan perusahaan bertahan.
Beberapa negara, khususnya negara maju mampu melakukan itu. Namun, negara-negara miskin, mereka berjuang dengan segala macam upaya yang mungkin mereka lakukan. “Kesenjangan dalam kapasitas respons ini adalah salah satu alasan mengapa kami melihat hasil yang berbeda,” katanya.
Alasan lainnya adalah efektivitas tindakan untuk mengatasi pandemi dan memulai kembali kegiatan ekonomi. Tiongkok bahkan mengalami pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan, sedangkan lainnya masih sangat kesulitan, beberapa malah direvisi negatif oleh IMF.
Menurut dia, pasar berkembang dan negara berpenghasilan rendah serta rapuh terus menghadapi situasi genting karena sistem kesehatan yang lebih lemah. Mereka juga sangat terdampak pada sektor yang paling terpengaruh, seperti pariwisata dan ekspor komoditas, serta bergantung pada pembiayaan eksternal.
“Pesan utama saya adalah ekonomi global kembali dari krisis yang dalam. Tapi, bencana ini masih jauh dari selesai. Semua negara menghadapi “The Long Ascent” pendakian (pemulihan-red) sulit yang akan panjang, tidak rata, dan tidak pasti, serta cenderung mengalami kemunduran,” kata Georgieva.
Menanggapi pernyataan itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya, Bambang Budiarto, mengatakan kesenjangan negara maju dan miskin karena kebijakan dan kapasitas yang berbeda.
“Di dalam negeri saja kesenjangan cukup lebar, sudah barang tentu kesenjangan antarnegara lebih lebar lagi. Penyebab utamanya karena faktor-faktor ekonomi di masing-masing negara, dan keberagaman kebijakan dengan berbagai kepentingannya,” kata Bambang. n SB/E-9