in

Teriakan dan Tarian Perdamaian

CATATAN ARSWENDO

Peristiwa penembakan bru­tal, biadab, di dua mesjid di Christchurch, Selandia Baru, Jumat, 15/3/19, membuat dunia geram, mengutuk, juga khawatir. Geram karena perbuatan satu dua orang yang menembaki semuanya, ke segala penjuru dalam mesjid. Peristiwa itu bahkan diunggah langsung pelaku, dengan korban 50 orang meninggal dunia, sejumlah yang sama luka. Dunia marah, geram, dan terancam.

Selandia Baru selalu dikenal sebagai negeri yang aman, tingkat kesejahteraan tinggi, bahkan kehidupan bersama mendapat pujian. Namun ternyata, juga ada peristiwa yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Dunia mengutuk, dan khawatir benar.

Khawatir karena ternyata “orang kulit putih yang merasa hebat” masih ada pengikut, dan menjalankan aksinya dengan menembaki yang “bukan kulit putih”, dalam hal ini para imigran dan beragama Islam.

Dunia mengutuk, namun tidak balas mengamuk. Dunia menghadapi kebencian dengan rangkulan, dengan doa bersama. Hari Minggu lalu, 12.000 warga Wellington, tempat kejadian perkara, mengadakan doa perdamaian dan ketabahan bagi yang keluarga yang ditinggalkan. Jumat kemarin diharap­kan lebih banyak lagi pengunjung yang berkumpul bersama, memperingati peristiwa terorisme dengan berdoa bersama. Bahkan, para perempuan mengenakan kerudung sebagai tanda korban akan korban yang berjatuhan. PM Selandia Baru yang muda, 38 tahun, memukau dunia ketika mendatangi korban dan memeluk keluarga korban dan dalam pidato resmi menyebut ini perbuatan para teroris.

Dunia cemas, dikemas dalam bentuk kebersamaan. Dengan tekad klise, tapi sangat berarti saat itu: peristiwa busuk tak harus terulang kembali, setop sam­pai di sini.

Maka yang kemudian berkembang bukan komentar nyinyir, menyindir lawan politik—yang masih berlang­sung di negeri ini, melainkan ajakan perdamian. Tak ada demo mendukung atau mengutuk atau menyalahkan siapa harus mengirim pasukan perang ke mana. Dan sungguh menggembirakan dunia, bahwa itu semua disambut dengan tenang, damai dan santun.

Dunia dibuat takut sesaat, namun tahu bagaimana bersikap. Untuk tidak terpecah, untuk tidak terbelah, untuk tetap bersama—juga dalam meng­hadapi terorisme. Inilah sebenarnya optimisme dalam bentuk nyata. Setiap kali ada duka dunia, setiap kali yang menonjol dalam kebersamaan. Adalah upaya untuk tetap bersahabat. Dalam kasus sejenis, ketika bencana banjir atau longsor, masyarakat sekitarnya terdorong untuk menyatuh, untuk saling membantu.

Ini jawaban tepat atas politik kebencian yang masih saja ada. Namun, juga terasakan bahwa gelombang perdamaian lebih mengemuka dibandingkan pertan­yaan perang. Setidaknya jika dibanding dengan peristiwa lain di belahan dunia lain, Paris misalnya.

Ini yang kita saksikan. Ini yang mengembalikan ke peradaban yang baik masih berlangsung. Teriakan perdamaian menjadi makin nyaring, makin terdengar, dan bukan kebencian, balas dendam, dan ketakutan . Di Se­landia Baru baru ditarikan kembali Tarian Huka, tarian suka asli, kini dengan tampilan modern. Tarian tentang perdamaian, juga melewati kematian.

Dan sebenarnya dari segi akar tradisi budaya, kita adalah manusia yang membawa perdamaian dan kebersa­maan dalam pergaulan kita.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dodi Reza Alex Perjuangkan Sawit Indonesia di Deklarasi Amsterdam

Jumlah Siswa yang Diterima melalui SNMPTN Turun