in

-Tidak- Sadar Wisata Halal

Perilaku oknum petugas Imigrasi di Bandara International Minangkabau (BIM) yang melakukan pungli terhadap wisatawan Malaysia beberapa waktu lalu, telah membuat bara hitam tercoreng di wajah dunia parawisata Sumbar. 

Pantas Gubernur Sumbar Irwan Prayitno tarabo. Alih-alih mendukung pembangunan Wisata halal di Sumbar, tapi petugas malah melakukan sesuatu yang kontra-produktif dan memalukan. Peristiwa  tersebut juga semakin menambah panjang barisan perilaku-perilaku yang merugikan wisatawan, seperti; mamakuak, pemerasan, suara kendaraan racing yang memekak telinga di jalan raya dan aksi penurunan penunpang di jalan sebelum sampai tujuan. 

Munculnya aksi atau perilaku yang merugikan wisatawan baik dalam maupun luar negeri tersebut, menjadi alarm yang menandakan bahwa terdapat problem krusial pada ranah sadar wisata dalam dunia keparawisataan Sumbar. Ia bak api dalam sekam atau musuh dalam selimut bagi sektor parawisata. Oleh karenanya, problem tersebut mesti diatasi secara terintegrasi, menyasar ke akar masalah  dan kolektif, agar jangan masalah tersebut timbul dan kemudian tenggelam, serta muncul lagi. 

Menyelami Akar Persoalan  

Kunjungan wisatawan ke suatu daerah atau tempat wisata didorong oleh  banyak faktor. Ryan (1991) dari kajiannya, menemukan berbagai faktor pendorong bagi seseorang untuk melakukan perjalanan wisata seperti: pertama, ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.

Kedua, untuk penyegaran, ketiga, ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan yang merupakan pemunculan kembali dari sifat kekanak-kanakan dan melepaskan diri sejenak dari berbagai urusan yang serius, keempat, mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam konteks VFR (Visiting Friends and Relations). Keakraban hubungan kekerabatan ini juga terjadi di antara anggota keluarga yang melakukan perjalanan bersama-sama, karena kebersamaan sangat sulit diperoleh dalam suasana kerja sehari-hari di negara industri.

Kelima, untuk menunjukkan gengsi dengan mengunjungi destinasi yang juga merupakan dorongan untuk meningkatkan status atau derajat social, keenam, untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat, atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi, dan terakhir ketujuh, untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari orang lain dan/atau daerah lain, atau mengetahui kebudayaan etnis lain. 

Wisatawan akan hunting  destinasi dan objek-objek wisata yang  kemudian dipilih untuk dikunjungi dalam beberapa waktu baik secara individual maupun kelompok. Pengetahuan detail tentang destinasi wisata amat tergantung pada ketersediaan informasi pada saat hunting. Namun dalam dunia  parawisata kita sajian informasi lengkap tentang suatu destinasi wisata amat minim informasi yang dapat diakses. Malahan ada destinasi wisata kita yang tidak dipromosikan di dunia maya yang memungkinkan wisatawan berselancar mengharungi beragam informasi tentang parawisata. 

Implikasi dari kondisi di atas adalah terjadinya kondisi a symmetric informasi atau ketidakseimbangan informasi. Wisatawan memiliki keterbatasan informasi hal-ihwal tentang suatu destinasi yang dipilih karena sajian informasi yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali, terutama berkaitan dengan biaya, prosedur layanan bagi wisatawan dan informasi jarak. 

Di pihak lain masyarakat, penyedia jasa wisata atau juga petugas di sekitar lokasi wisata memiliki informasi yang banyak tentang hal-ihwal wisata di daerahnya. Kondisi ketidakseimbangan informasi ini menciptakan peluang atau dapat menjadi lahan subur bagi oknum untuk  mengambil keuntungan. Hilirnya muncullah aksi pungli, pakuak harga parkir, makanan dan layanan wisata lainnya. Selama ketidakseimbangan informasi ini tetap terjadi selama itu pula  aksi-aksi merugikan wisata tumbuh subur dan cenderung lestari.

Selain itu, pola interaksi dunia industri wisata dengan masyarakat juga memiliki kontribusi terhadap muncul masalah sadar wisata. Masyarakat atau community merupakan sektor yang ikut menentukan keberhasilan dan kesuksesan pembangunan parawisata selain pemerintah. Oleh karenanya peran serta aktif masyarakat sangat dituntut terutama masyarakat di daerah destinasi wisata.

Masyarakat di sekitar tempat wisata menjadi penjaga citra wisata di mata wisatawan. Kenyaman wisatawan di lokasi wisata banyak ditentukan oleh masyarakat di lokasi wisata. Begitu pula infrastruktur wisata yang terjaga aman dan rapi, serta jauh dari jamahan tangan tak bertanggung jawab amat ditentukan oleh masyarakat. Urgennya peran masyarakat terutama di lokasi wisata, maka perlu dikembangkan pola interaksi yang sangat responsif dan toleran. Bentuk interaksi yang responsif dan toleran merupakan hubungan yang saling memiliki dan menghargai, serta  siap menerima konsekuensi sebagai daerah destinasi wisata.

Untuk tumbuh dan berkembangnya pola interaksi responsif dan toleran meniscayakan keterlibatan masyarakat dan masyarakat juga dapat mengambil, serta merasakan manfaat atau keuntungan dari kegiatan parawisata yang dilakukan. Masyarakat diberi ruang untuk memiliki andil dari bagian paket-paket wisata yang ditawarkan oleh dunia industri parawisata.

Misalnya, hasil produksi pertanian masyarakat di sekitar lokasi wisata atau bagi dunia parawisata mendapat tempat untuk menjadi bagian yang dihidangkan ke wisatawan. Hasil pertanian masyarakat di Matur, seperti  labu atau kacang dijadikan menu sarapan pagi di Nuansa Notel Maninjau. Markisa menjadi buah-buahan utama yang dihidangkan ke wisatawan di cottage-cottage di Solok Selatan. Selain menjadi host, masyarakat juga menjadi supplyer hasil pertanian mereka ke industri parawisata. Sehingga, masyarakat menerima manfaat dari kegiatan wisata. Diharapkan dengan demikian masyarakat ikut bertanggung jawab dan menjadi imej wisata di daerah mereka.

Agenda ke Depan

Perilaku pungli, pemerasan dan pakuak dalam dunia parawisata Sumbar harus segera dihabisi dan dicabut sampai ke akarnya agar tidak muncul lagi di kemudian hari. Perilaku tersebut menjadi kontra-produksi dengan wisata halal yang tengah dikembangkan di Sumbar. Wisata halal, menurut World Tourism Organization, memiliki  kriteria; orientasi wisata kepada kemaslahatan umum, keamanan, kenyamanan, ketenangan dan jauh dari penzaliman.

Untuk itu, ke depan sangat perlu dilakukan langkah-langkah; pertama, menghilangkan kondisi ketidakseimbangan informasi bagi wisatawan dengan merilis secara  transparan segala prosedur yang dilakukan oleh wisatawan sewaktu berkunjungan dan membuat list harga secara jelas dan pasti setiap jasa atau layanan yang ada terutama yang  ditawarkan di daerah destinasi wisata. Atau, juga dapat dilakukan penyebaran informasi tentang destinasi wisata dalam bentuk sajian buku-buku saku atau handbook. 

Kedua, pelibatan secara aktif masyarakat pada kegiatan parawisata dan menjadikan masyarakat sebagai elemen yang memiliki ruang untuk mengambil manfaat atau keuntungan dari kegiatan wisata yang dikembangkan di daerah destinasi. Hal ini dapat dapat bentuk merekrut anggota masyarakat sebagai bagian dari pelaku dan penyedia jasa wisata atau menjadikan masyarakat sebagai supplyer terhadap bahan makanan yang akan dihidangkan ke wisatawan atau cendera mata yang akan dijual ke wisatawan. 

Ketiga, memperbanyak manfaat dan arti penting kegiatan wisata bagi masyarakat. Selain efek ekonomi, manfaat sosial budaya dari kegiatan dunia keparawisataan harus dirasakan oleh masyarakat. Dunia parawisata memiliki peran memperluas relasi dan mempromosikan budaya lokal. Semakin banyak masyarakat memiliki peluang mengambil dan merasakan manfaat diharapkan sadar wisata  tumbuh dengan  baik. Semoga. (*) 

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Tenaga Pendidik Gugat UU Guru dan Dosen

Jangan Ada lagi Tragedi Mei