in

UMKM Gamang Hadapi Kenaikan UMP, Penetapan Upah Perlu Perhatikan Jenis Usaha

Beragam pendapat muncul terkait kenaikan UMP 2018. Apalagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menjadi mesin penggerak utama perekonomian Sumbar. Beberapa di antaranya masih bingung dalam menyikapi bagaimana menghadapi kenaikan ini. Apalagi bagi yang jenis usahanya sedang lesu, tentu ini akan berdampak pada stabilitas usaha.

Dari segi ekonomi, dosen Antropologi Universitas Andalas, Nursyirwan Effendi menjelaskan kenaikan UMP menyebabkan kendala bagi usaha mikro. Terlebih Sumbar merupakan daerah yang dalam sektor ekonomi banyak ditunjang dari UMKM bukan dari industri. Sektor ini akan kesulitan dalam pemenuhan UMP yang ditetapkan pemerintah.

Sebagai alternatif pemerintah memberlakukan adanya surat pengajuan tidak mampu untuk memenuhi UMP. Secara garis besar UMP Sumbar yang naik menjadi Rp 2,1 juta itu dikategorikan standar bagi perusahaan namun tidak bagi perusahaan mikro seperti UMKM.

”UMP merupakan kebijakan pemerintah merupakan standar untuk mengetahui kesejahteraan buruh. Pengajuan surat tersebut dilakukan untuk mendapat kesesuaian dalam pemenuhan UMP. Perusahaan harus mencari cara agar dapat memenuhi peraturan itu. Salah satunya menggenjot nilai produksi dan harga jual. Implementasinya dilakukan secara bertahap. Jika tidak, perusahaan akan kesulitan berdampak pada penutupan usaha yang ujungnya peningkatan pengangguran,” katanya.

Pengamat ekonomi lainnya, Syafruddin Karimi yang juga dosen ekonomi Unand membeberkan kenaikan UMP tersebut mestinya berdasar pembangunan inflansi pada daerah. Kenaikan UMP dilihat berdasar kemampuan daerah. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan nantinya.

Ia menilai kenaikan UMP Sumbar sekitar Rp 2,1 per bulan dapat dikatakan standar. Berbeda jika jumlah itu diperuntukkan bagi buruh yang memiliki keluarga. Tentunya jumlah itu masih kurang. ”Lihat peruntukannya. Bagi orang yang sudah menikah jumlah itu bisa dikatakan kurang. Mungkin ada uang lain yang dibayar perusahaan,” katanya.

Sementara, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumbar Muzakir Azis menyebutkan setiap kabupaten/kota diminta membentuk dewan pengupahan. Namun hal itu justru tak berjalan. Alasannya, Sumbar bukan merupakan daerah industri atau perushaan yang membutuhkan dewan pengupahan dan sektor ekonomi lebih ditunjang UMKM.

Sejak adanya PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menetapkan Upah Minimum Kebupaten/Kota (UMK) tidak dapat diterapkan dan diganti UMP. Intinya akan terus mengalami kenaikan tiap tahun. Setidaknya dibutuhkan waktu 5 tahun untuk merombak PP 78 tahun 2015 itu jika ingin mengganti UMP dengan UMK.

Kesalahan terjadi pada peruntukan PP tersebut, pemerintah tidak menjelaskan peruntukan PP tersebut kepada siapa. Itu artinya PP itu bisa saja digunakan bagi seluruh pemberi upah. Termasuk UMKM dan pengusaha kecil. Sementara penghasilannya tidak mampu memenuhi UMP tersebut.

Ia juga menambahkan jika UMP dipaksakan pada setiap usaha maka akan berdampak pada pengangguran besar-besaran. Usaha maupun UMKM yang tak mampu memenuhi kesejahteraan buruhnya akan memilih tutup atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

”Kalau mau protes harus tunggu tahun 2019. Karena PP itu berlakunya selama 5 tahun. Nah, jika survei dilakukan kembali pada tahun 2019 mendatang kemungkinan akan ada penurunan terhadap UMP itu,” terangnya.

Lain halnya dengan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sumbar, Arsukman Edi. UMKM yang pada dasarnya kemampuan membayar upah pekerja kecil dikarenakan produksinya masih terbatas. Kenapa tidak diberlakukan sistem UMP sesuai standardisasi usahanya. ”Begini, memang kita sadari atau tidak persoalan di lapangan apalagi usaha kecil kemampuan membayar upah juga kecil. Sehingga bisa dikelompokkan menjadi tiga ketegori UMP,” katanya.

Dia mencontohkan UMP usaha kecil, UMP usaha menengah dan UMP usaha besar. Lebih kurang gambaran klasifikasinya demikian. Tak ada lagi keluhan UMKM tak bisa terapkan UMP karena untung kecil. Harus ada suatu kriteria pengelompokkan tertentu, sesuai kondisi dan fakta di lapangan. Persoalannya sekarang, ketentuan upah regulasinya belum ada. ”Sehingga kita ikuti saja aturan yang sudah ada,” jelasnya.

Terkait pengawasan yang dilakukan oleh dinas terkait, sebaiknya juga lihat kondisi lapangan pekerja, apakah layak atau tidak. ”Jangan sampai dalam pengawasan tersebut tim pengawas hanya menemui pimpinan perusahaan saja. Temui juga serikat pekerjanya. Tanya apakah udah layak pelayanan perusahaan terhadap sipekerja,” tegasnya.

Persoalan kedua, upah lembur yang belum dibayarkan. Kemudian persoalan upah yang lewat dari masa kerja satu tahun. Misal ketika pekerja sudah bekerja selama 3 sampai 10 tahun, tapi masih diberlakukan juga UMP.

“Seharusnya yang lama itu, diberi tunjangan masa kerja. Sehingga ada penghargaan bagi yang sudah lama mengabdi ke perusahaan. Untuk pemerintah harus buat struktur dan skala upah,” jelasnya.

Berikutnya, persoalan UMP dijadikan perusahaan sebagai standar upah yang harus didaftarkan ke BPJS. Padahal upahnya sudah di atas UMP. Dalam hal ini pekerja yang dirugikan, karena jaminan hari tuanya rendah.

“Contohnya santunan berdasarkan UMP, jika gaji pekerja Rp 3 juta, kemudian dia sudah mendapatkan 48 kali UMP, berarti ia akan rugi sekitar Rp 48 juta. Ini tidak sesuai dengan yang sebenarnya,” bebernya. Ia tambahkan jika terlambat dalam pembayaran gaji, melebihi dua hari yang diperhitungkan akan dikenakan denda, sesuai SOP perusahaan.

Persoalan berikutnya, bekerja atau dikontrak selama 15 hari, tetap harus dibayarkan sesuai UMP. “Bagaimana pula ia bekerja setengah bulan. Sedangkan gajinya hanya separo. Anggap lah UMP Rp 2 juta, dibagi dua karena bekerja tak full satu bulan. Pekerja hanya memperoleh Rp 1 juta. Berarti tak sesuai dengan yang diharapkan,” bebernya.

Ia berharap, bagi perusahaan yang melanggar, agar dinas terkait tak sungkan-sungkan beri sanksi apakah administrasi atau pidana sesuai ketentuan yang berlaku. “Dari sekian jumlah perusahaan yang ada di Sumbar, makimal 30 persen yang melaksanakan UMP. Selebihnya 70 persen, ini jauh dari harapan,”ungkapnya.

Ia juga sampaikan ada tiga Undang-undang yang melindungi pekerja, yaitu UU Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dan UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaiaan Perselisihan Hubungan Industrial. Tetap saja posisi pekerja lemah.

“Dengan kondisi yang demikian harus ada namanya revolusi mental, itu paling dibutuhkan. Sehingga diminta keseriusan pemerintah dalam menegakkan aturan perundang-undangan sesuai dengan regulasi,” tegasnya.

Di Pasbar, Kepala Dinas Tenaga Kerja Pasbar Joko Santoso menyampaikan, hingga saat ini pihaknya belum ada menerima surat dari Gubernur Sumbar terkait penetapan UMP 2018. Sehingga pihaknya belum bisa menindaklanjutinya ke sejumlah perusahaan yang ada Pasbar. Artinya kalau sudah ada diterima surat itu pasti ditindaklanjuti dan tetap diawasi pada sejumlah perusahaan, baik itu perusahaan perkebunan, BUMN dan lainnnya. Saat ini jumlah tenaga kerja di perusahaan ada sekitar 12.481 orang.

Menurut dia, selama ini ada laporan masuk terkait tenaga kerja ke pihaknya, namun bukan masalah tenaga kerja, tapi masalah pesangon. Permasalahan ini sudah diproses sesuai aturan, kalau seandainya tidak rampung mediasi di tingkat kabupaten, maka akan dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Padang. Soal upah atau gaji karyawan yang tidak sesuai UMP diibayarkan perusahan ke tenaga kerja belum ada. Namun, kalau ada masyarakat yang diperlakukan tidak manusiawi, silakan melaporkan ke kantornya. Karena kalau ada laporan masyarakat atau karyawan atau buruh.

Terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar Nazrizal Nazaruddin berharap setiap perusahaan mampu dan mau membayarkan kewajibannya sesuai aturan serta waktu yang tepat. Jika ada yang tidak sanggup memenuhi UMP tersebut sebaiknya diajukan surat penangguhan, selambat-lambatnya 10 hari sebelum UMP 2018 diberlakukan.

“Kebijakan ini sebenarnya merupakan pengamanan karena bisa saja upah merosot akibat permintaan dan penawaran tenaga kerja yang semakin tinggi, maka dari itu ditetapkan upah minum untuk mengatasi hal tersebut,” jelasnya.

Soal konflik yang kerap terjadi antara pekerja dan perusahaan, menurutnya memang ada beberapa pengaduan terkait upah yang terlambat ataupun tidak layak. Tapi secara keseluruhan konflik tersebut masih dalam taraf wajar, karena belum ada kasus-kasus berat yang ditemui di Sumbar ini. “Memang beberapa ada yang melakukan pengaduan kepada kita terkait hak-hak mereka yang tidak dituntaskan perusahaan, dan kita disana berperan sebagai mediator untuk mencarikan solusi paling tepat bagi kedua belah pihak,” ungkapnya.

Untuk menyikapi agar perusahaan-perusahaan tidak menyalahi aturan dan ketetapan pemerintah tentang UMP dan kesejahteraan pekerja, Nazrizal mengatakan pihaknya akan memperkuat pengawasan terhadap perusahan yang ada di Sumbar agar tetap berjalan dalam aturan yang telah ditetapkan pemerintah.

“Kita akan terus melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kewajiban perusahaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah. Namun selain itu, pekerja sendiri juga harus meningkatkan produktivitas mereka agar bisa meminimalisir konflik-konflik yang mungkin terjadi akibat kesalahpahaman tentang hak dan kewajiban,” tutupnya.

Menurutnya boleh saja diberlakukan UMK, sepanjang kabupaten atau kota merasa perlu untuk menganggarkannya. Sehingga harus dibuat formula UMK. Pada hakekatnya UMK lebih besar dari UMP.

“Prinsipnya tetap jadikan UMP sebagai standar upah minimum,”terapnya.

“UMP itu lahir berdasarkan perhitungan biaya hidup layak, yang dikalkulasikan sedemikian rupa oleh pakarnya. Ngapain harus menghitung lagi, toh sudah dihitung jelas. Namun ketika perusahaan memberikan lebih dari standar UMP, kenapa tidak, kami apresiasi,” bebernya.

Soal pekerja perannya dalam aspek ini, harus tingkatkan lagi produktivitas, agar sesuai level upah yang diterimanya. “Pekerja tidak harus mengatakan ia harus digaji sesuai UMP, tapi produktivitasnya rendah. Berarti dia sendiri yang tak mau menunjukkan bahwasanya mereka ingin dihargai. Jika dia punya kemampuan melebihi rata-rata dari yang lain, pastilah jadi rebutan oleh beberapa perusahaan,” tandasnya.

Terkait UMKM bisa dikatakan sebagai sektor informal, karena sifat usahanya industri rumah tangga. Hakekatnya hanya mempekerjakan pekerja kurang dari 10 orang. Jika usahanya belum mampu terapkan UMP, lantaran hasil produksi belum bisa memenuhi target keuntungan.

Setidaknya jadikan UMP sebagai pedoman. “Sebagai pedoman dalam artian begini, jadikan UMP sebagai patokan. Ini loh sebenarnya gaji yang layak untuk Sumbar. Kenapa UMKM belum bisa terapkan UMP? Karena industrinya belum terdaftar dan pekerjanya cuma dua orang, palingan itu bagi hasil saja. Namun, kalau usaha produksinya besar dan rasanya mampu bayarkan sesuai UMP, wajib ia terapkan dan daftarkan tenaga kerjanya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar,” tegasnya.

Terkait data perusahaan yang dinilai bagus menggaji, ia sampaikan akan diadakan reward yang dinamakan paritrana. Tujuannya untuk melihat kesungguhan dari perusahaan untuk memberi jaminan ke pekerjanya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

MTQ Diharapkan Merekat Umat Islam

Bahaya Berkendara dengan Ban Kempes