in

Waspadai Penjajahan Era Digitalisasi

Walaupun bangsa Indonesia sudah 72 tahun merdeka, namun bukan berarti negari ini benar-benar terbebas dari penjajahan. Malah sebaliknya, sekarang ini Indonesia tengah dihadapkan pada penjajahan lewat digitalisasi yang tak kalah beratnya. 

Hal tersebut terungkap dalam perbincangan Padang Ekspres dengan sejarawan dari Universitas Andalas (Unand), Prof Gusti Asnan dan sejarawan Universitas Negeri Padang (UNP) Hendra Naldi SS MHum dalam peringatan Hari Pahlawan secara terpisah, Kamis (9/11).

Bentuk penjajahan zaman kontemporer serba digitalistik ini, kata Gusti Asnan, semakin halus. Bahkan, secara kasat mata tidak terlihat. “Sasaran utamanya generasi muda. Dampak dari penjajahan tersebut, mampu menganggu eksistensi persatuan bangsa Indonesia ke depan,” ingat Gusti Asnan.

Modus yang digunakan penjajahan saat ini, yakni menjauhkan generasi muda dari budaya luhurnya. Caranya banyak, lewat internet, media sosial, maupun paham-paham bertentangan dengan ideologi Pancasila. 

Di media sosial, sosial misalnya,   banyak berkembang informasi hoax yang tidak diketahui kredibilitas pihak yang menyebarkannya. Namun, banyak di antara anak bangsa begitu sajal mempercayainya tanpa kroscek terlebih dahulu. Jika hal tersebut tidak diantisipasi sejak dini, jelas dikhawatirkan dapat merusak kekokohan persatuan bangsa Indonesia yang terjalin selama ini. 

Kondisi tersebut membuat sebagian anak bangsa jadi teradu domba, saling salah menyalahkan, saling hujat, tidak lagi menghargai satu sama lain hingga putus hubungan persaudaraan. “Permasalahan ini mengindikasikan generasi muda maupun pemerintah belum mampu menerima dan menfilter bentuk penjajahan digitalisasi yang sedang terjadi saat ini,” ungkapnya.

Semestinya, jika setiap penjajahan itu bisa ditanggapi secara positif, mampu melahirkan keuntungan bagi anak bangsa. Hal tersebut dapat dilihat bila merunut ke masa-masa penjajahan sebelum kemerdekaan bangsa ini. 

”Di masa-masa penjajahan itu, kita dapat melihat bahwa generasi muda Minangkabau mampu menyikapi secara positif penjajahan itu. Seperti, lewat kerja keras, semangat dan kekompakan yang ditunjukkan. Hasilnya, banyak tokoh-tokoh dan pahlawan asal Minangkabau yang telah berjasa dan dicatat lewat tinta emas bangsa ini,” jelasnya.

Begitu juga menyikapi bentuk buruk penjajahan saat ini. Contoh konkretnya, penggunaan internet. “Jika internet ini betul-betul dimanfaatkan untuk tujuan positif, jelas bisa memberikan ilmu pengetahuan maupun keuntungan dari sisi ekonomi. 

“Selain internet, narkotika, budaya individualistik, rendahnya minat baca, tidak disiplin, serta mengejar kesuksesan dengan cara instan (budaya junk food, red) merupakan bentuk lain dari hasil penjajahan yang dilakukan secara halus terhadap anak bangsa,” tegasnya.

Berkaca pada permasalahan tersebut, kata Gusti Asnan, terdapat sejumlah langkah mesti dilakukan. Pertama, dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan garda terdepan dalam membentuk karakter seorang anak. Tidak hanya sebatas itu. Di dalam keluarga ada berbagai macam nilai-nilai dan norma yang ditanamkan terutama agama dan adat istiadat.

Di negara-negara maju seperti Jepang dan Skandinavia misalnya, anak-anak dan remaja justru sangat dibatasi dalam memakai handhone Android. Jika dibolehkan, maka orangtuanya berhak dan berkewajiban senantiasa mengecek handphone anaknya. ”Walaupun di negara maju itu kehidupannya juga individualistik, namun pembinaan karakter individu dalam keluarga sangat baik,” jelasnya.

Di Minangkabau dahulunya, lanjut Gusti Asnan, keberadaan surau dijadikan tempat belajar nilai-nilai dan norma dalam masyarakat. Namun, kondisi berbeda justru terjadi masa kini. Surau lebih banyak hanya dijadikan tempat beribadah.

Pemerintah semestinya mampu mengendalikan sejumlah ancaman yang datang dari luar. Dia mencontohkan Tiongkok dan Jepang, pada kedua negara ini media sosial dan situs-situs berbahaya, bakal sulit diakses. 

Kalau di Indonesia, justru sebaliknya anak-anak dan remaja leluasa menggunakan internet. Tanpa ada batasan dan filterisasinya. Terbaru, aplikasi pesan online WhatsApp yang beberapa hari lalu dihebohkan adanya pesan berbentuk gambar pornografi. 

“Jadi, pemerintah mesti membatasi penggunaan internet dan menyeimbangkan pendidikan yang lebih mengutamakan kognitif saat ini, dengan pendidikan spiritual dan karakter. Misalnya, mata pelajaran agama, sejarah, dan PPKN, mesti menjadi pelajaran utama di sekolah,” ujarnya.

Sejarawan dari UNP, Hendra Naldi menjelaskan bahwa berdasarkan riset geopolitik, saat ini Indonesia jadi target bangsa asing. Karena tahun 2045, Indonesia mengalami bonus demografi, sehingga melalui media sosial yang menggunakan komunikasi data internet, budaya junk food yang datang dari luar telah mulai masuk ke ranah masing-masing generasi muda.

Faktanya sekarang, kata Hendra, pengaruh gadget melahirkan suatu generasi yang disebut generasi autis. Generasi yang berperilaku individualistik yang tidak peduli dengan keadaan sekitar. Bahkan dalam keluarga, antara orangtua dan anak juga terjadi hal yang demikian. Orangtuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sementara anak-anak juga sibuk dengan urusannya pula. 

“Begitu pula di lingkungan masyarakat. Kalau dalu di Minang ini, ada rasa tanggung jawab terhadap generasi muda. Sekarang, jangankan orang lain, keponakan saja tidak diperhatikan. Semua itu disebabkan, paham kapitalisme yang memandang uang segala-segalanya. Sehingga,  menyebabkan hampir setiap individu sibuk mencari sumber-sumber ekonomi yang ada. Persatuan sesama anak bangsa jadi terganggu,” bebernya.

Selain itu, lanjutnya, budaya membaca dan kemampuan generasi muda juga  tergolong rendah. Hal ini membuat mereka sangat rentan sekali dipengaruhi. “Apalagi saat ini banyak di media sosial beredar kabar-kabar hoax. Kalau fenomena tersebut tidak difilter dan dipahami secara bijak, dikhawatirkan bisa memecah belah bangsa ini,” ujar Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial UNP itu.

Meski begitu, dia menilai, model-model penjajahan gaya baru itu masih belum terlalu jauh merasuki pemikiran anak bangsa. Buktinya, NKRI masih utuh dari Sabang sampai Merauke. Perpecahan atau konflik yang sempat terjadi di beberapa daerah, sudah bisa diatasi dengan baik. “Paham kapitalisme yang berkembang saat ini, tujuan utamanya memecahbelah persatuan. Alhamdulillah, sampai saat ini paham Bhinneka Tunggal Ika dan ideologi Pancasila masih tetap dipegang,” ungkapnya.

Agar keutuhan bangsa ini tetap terjaga, menurut dia, diperlukan pengontrolan  dalam keluarga, masyarakat dan pemerintah. Artinya, semua pihak harus bersinergi dengan tupoksinya masing-masing. Jangan memandang uang, kesenangan sepihak, serta kepentingan kelompok sebagai prioritas utama dalam hidup. 

Kalau dalam keluarga, harus ada kebersamaan antar-anggota keluarga. Lalu, program kembali ke surau mesti digalakkan lagi di masyarakat. Sedangkan dari otoritas pemerintah, sistem pendidikan harus lebih mengarah pada kognitif yang diseimbangkan dengan pendidikan spritual dan agama. 

Kemudian, pemerintah perlu memfilter situs-situs negatif yang banyak bertebaran di internet atau media sosial. ”Sebenarnya generasi muda ini jika dibimbing dengan baik, bisa menjadi superior. Namun jika disudutkan, justru menjadi inferior,” jelasnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Masih Banyak Perusahaan Bandel

Jalur II Bypass Dilanjutkan