Hari ini sidang paripurna DPR akan memutuskan apakah menyetujui atau menolak penggunaan hak angket. Hak penyelidikan ini ditujukan pada kasus korupsi KTP elektronik yang sedang diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi KPK.
Usulan penggunaan hak angket itu diteken puluhan anggota DPR. Tujuannya, memaksa KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap anggota DPR dari Partai Hanura Miryam S Haryani. Para pengusul tidak percaya dengan keterangan penyidik KPK Novel Baswedan. Novel menyebut Miryam diancam enam anggota DPR supaya tidak membongkar skandal korupsi proyek KTP elektronik.
Motor dari pengusul hak angket itu diantaranya politisi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu, politisi Partai Gerindra Desmon Mahesa, politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo dan lain-lain. Nama-nama itu memang disebut Novel di persidangan sebagai pihak yang menekan Miryam.
KPK sudah menegaskan tidak akan membuka rekaman pemeriksaan Miryam. Ini patut kita dukung. Pemeriksaan saksi merupakan ranah hukum yang tidak boleh diintervensi oleh kepentingan politik, apapun alasannya. Apalagi, jika ada kepentingan untuk menyelamatkan diri dan kelompoknya dari perkara korupsi itu.
Korupsi KTP elektronik merupakan perkara besar. Proyek e-KTP senilai 5,9 triliun rupiah itu dirampok setengahnya, secara sistematis, dan diduga melibatkan banyak nama anggota Komisi II DPR, dari berbagai partai politik pada periode 2010-2012.
Karena itu, kita curiga hak angket yang diperjuangkan anggota DPR kali ini, bukan demi pemberantasan korupsi. Bukan untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya, tapi untuk pribadi dan golongan. Dan karena itu, hak angket itu wajib ditolak.
Publik wajib mencatat orang-orang atau partai politik yang mendukung hak angket itu, dan menghukumnya secara politik di ajang pemilu. Jangan pilih politisi dan partai yang berupaya mengintervensi dan melemahkan KPK.