Sumbar sudah dikenal sebagai daerah yang memiliki kerawanan yang tinggi terdampak bencana gempa (dan juga tsunami). Semua orang sudah tahu itu, terutama kita masyarakat di Sumatera Barat sendiri, karena sejak tahun 2005 kita merasakan bertubi-tubi guncangan gempa bumi berskala kecil sampai besar sekali. Sudah berkali-kali pula kerugian dialami masyarakat Sumbar akibat gempa tersebut, baik kerugian jiwa maupun harta benda.
Sumber potensi gempa yang dapat menimbulkan dampak besar, yakni intensitas sampai VIII sampai X MMI adalah yang bersumber di megathrust Mentawai akibat tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia serta di darat akibat pergeseran mendatar (strike-slip) sepanjang patahan/sesar Semangko. Gempa di darat, dengan kekuatan sekitar 7 SR dapat menimbulkan intensitas VIII MMI, bahkan lebih. Sebab, gempa di darat akibat pergeseran patahan semangko ini kedalamannya bisa sangat dangkal (kurang dari 20 km), sehingga intensitasnya bisa besar sekali.
Meskipun potensi gempa bumi di wilayah Sumbar besar, tapi yang sering menimbulkan kerugian atau korban adalah bangunan. Tapi, tidak pula semua bangunan. Telah terbukti bahwa yang menimbulkan kerugian adalah bangunan yang tidak memenuhi standar. Dengan kata lain, bangunan yang tidak berwawasan bencana.
Ini telah ditunjukkan oleh tim ahli bangunan dari Jepang yang melakukan penyelidikan di Kota Padang dan Padangpariaman pascagempa 7,9 SR psada 30 September 2009 yang lalu. Tim yang dipimpin oleh Dr Yozo Goto ini mempresentasikan temuan mereka di Balai Kota Padang pada bulan Desember 2009 yang lalu.
Kesimpulan utama dari penyelidikan mereka adalah bahwa bangunan yang rusak dan hancur akibat gempa bumi 30-09-2009 adalah karena bangunan-bangunan tersebut tidak memenuhi standar yang ada (pada waktu itu standarnya adalah SNI 2002). Artinya, dengan memenuhi standar SNI 2002 saja insya Allah bangunan tidak akan roboh oleh gempa 30-09-2009 tersebut.
Paling-paling bangunan rusak. Tapi tidak hancur atau roboh. Sekarang SNI 2002 sudah direvisi menjadi SNI 2012, yang berarti syarat kekuatan bangunan ditambah, mengingat ancaman gempa bumi di Sumbar lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
Nah, begitu pentingnya kekuatan sebuah bangunan, sehingga kami para praktisi (manajemen) kebencanaan membuat ungkapan: “Bukan gempanya, tapi bangunannya”. Artinya, kita tidak usah terlalu takut dengan gempa. Tapi takutlah dengan bangunan (yang tidak memenuhi standar). Gempa itu adalah fenomena alam. Seperti di Jepang dan bagian lain di dunia yang memiliki ancaman gempa, mereka mengantisipasinya dengan membuat bangunan yang kokoh, sehingga bangunan tersebut tidak menjadi alat pembunuh ketika gempa terjadi.
Setelah setahun gempa 30-09-2009 berlalu, masyarakat di Sumbar mulai melupakan kesedihannya. Mulailah aktivitas masyarakat menggeliat lagi. Pasar-pasar kembali bergairah. Bangunan yang rusak mulai direhabilitasi atau dibangun baru. Bahkan sejumlah hotel baru yang bertaraf internasional juga berdiri. Nampaknya berdirinya hotel-hotel bertaraf internasional ini didasarkan keyakinan para investor tersebut bahwa pariwisata Sumbar yang sangat potensial akan kembali hidup, bahkan dapat meningkat. Untuk mengantisipasi kenaikan kunjungan wisatawan itulah para investor tidak ragu-ragu untuk berinvestasi.
Selain hotel, sejumlah bangunan bertingkat untuk berbagai keperluan juga banyak tumbuh. Sebagian (besar) bangunan ini dipersiapkan pula oleh pemilik/pimpinannya sebagai tempat evakuasi dari ancaman bencana tsunami. Sejumlah sekolah seperti SMAN 1 Padang bangunannya dipersiapkan sebagai shelter apabila terjadi tsunami. Bangunan sekolah ini memang didedikasikan untuk masyarakat yang berada di sekitar sekolah sebagai tempat berlindung dari ancaman tsunami. Di bagian atas dari bangunan ini terdapat helipad, yakni tempat pendaratan helikopter. Beberapa sekolah lain juga didisain untuk shelter seperti SMPN 25 Padang, SMKN 5 Padang, SMPN 7 Padang. Kemudian ada Escape Building kantor Gubernur Sumbar, Gedung Mapolda Sumbar, dan belasan gedung bertingkat di kampus UNP Airtawar.
Dari semua gedung yang disebutkan tadi, yakni bangunan-bangunan megah yang dibangun pasca gempa 30-09-2009, penulis berkeyakinan bahwa semuanya sudah memenuhi standar SNI 2012. Namun menurut penulis yang dipenuhi berkemungkinan baru strukturnya. Barangkali ada beberapa hal yang perlu dipikirkan untuk lebih sempurnanya sebuah bangunan agar dapat dikategorikan sebagai bangunan yang lebih berwawasan bencana.
Pertama, untuk sebuah ruangan yang memuat sejumlah orang seperti aula, atau kelas sekolah, harus dipikirkan jumlah pintu, serta lebarnya. Jumlah dan lebarnya pintu harus proporsional dengan kapasitas aula atau ruangan. Jika terjadi musibah seperti kebakaran atau gempa, jumlah dan lebar pintu yang sebanding akan memudahkan orang yang berada di dalamnya untuk keluar menyelamatkan diri.
Kedua, bukaan pintu. Bukaan pintu disarankan arah keluar. Ini sangat penting. Sebab, jika sewaktu-waktu pintu terkunci, atau handle pintu patah, sementara orang yang berada di dalam hendak keluar untuk menyelamatkan diri, maka dengan tendangan kaki pintu tersebut dapat terbuka. Tapi dengan model bukaan pintu arah ke dalam, bisa terjadi seperti korban perampokan di rumah Ir Dodi Triono di Pulomas Residence Pulogadung, Jaktim bulan Desember 2016. Waktu itu 11 orang yang disekap oleh perampok di kamar mandi berukuran 1,5 x 1,5 meter tidak bisa keluar karena dikunci dari luar. Enam dari 11 orang yang disekap perampok akhirnya tewas karena kehabisan oksigen. Andai saja model bukaan pintunya arah ke luar, jangankan sebelas orang, satu orang saja mendongkak pintu itu akan terbuka. Apalagi jika didorong ramai-ramai. Akan selamat mereka semuanya.
Ketiga, untuk ruangan besar seperti aula harus ada pintu yang bisa dibuka dari dalam tanpa kunci. Pegangan pintu itu berupa besi batangan yang ketika ditekan pintu akan terbuka. Orang akan mudah untuk keluar. Tapi untuk masuk baru memakai kunci. Konsep ini menghendaki agar orang tidak akan terkurung di dalam. Jika seseorang terkurung di dalam tentu berbahaya.
Nah, dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan kita menghadapi potensi bencana gempa dan tsunami ini penulis menyampaikan hal ini. Kita harus terus berusaha untuk memperbaiki diri, memperbaiki upaya pengurangan risiko bencana. Dalam sebuah kegiatan pembahasan dokumen AMDAL pengembangan Hotel Grand Zuri, sebagai salah seorang anggota tim teknis AMDAL Kota Padang penulis memberikan masukan kepada manajemen hotel dan konsultan yang ditunjuk untuk melakukan studi ANDAL, terutama terkait dengan bangunan aman gempa. Untung pihak manajemen hotel dan konsultan cukup akomodatif terhadap masukan yang diberikan. Hotel ini memang sudah didedikasikan sebagai TES (Tempat Evakuasi Sementara) dari tsunami. Di bagian atas hotel disediakan tempat evakuasi dengan fasilitas toilet portable, tanki air yang cukup, genset, bahkan helipad.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi masukan bagi perbaikan gedung untuk kepentingan publik. Terutama bagi bangunan yang akan dibangun, selain memperhatikan kekuatannya berdasarkan standar yang ada, juga hendaknya memperhatikan jumlah dan lebar pintu serta model bukaan untuk ruangan-ruangan tertentu. Hendaknya kondisi ruangan dibuat sedemikian rupa, sehingga ketika ada bahaya orang dengan mudah keluar menyelamatkan diri. (*)
LOGIN untuk mengomentari.