in

Danarto: Pernah dan Masih Ada

Di tengah kesibukan yang ramai di dunia kesenian—tak usah dunia politik, nama Danarto sayup-sayup. Antara terdengar dan samar. Antara ada dan tiada.

Generasi sekarang yang menggandrungi Syahrini atau Dilan, atau lelaki model Uya Kuya, sulit dengan nama itu. Danarto, saya selalu mencium tangannya kala bertemu, sastrawan juga seniman seni rupa, yang dianggap tonggak berkesenian di Indonesia.

Buku-bukunya seperti Godlob, Adam Makrifat (1982), juga naskah drama seperti, judulnya aneh atau tak biasa, Obrog Owok-owok, Ebreg Ewek Ewek, Bel Geduwel Beh dianggap puncak-puncak dari jenisnya.

Di samping cerpen-cerpennya yang diposisikan pembaru, karena bentuk dan pengolahannya berbeda—memakai gambar sebagai judul.

Pendek kata, Danarto adalah pembaru, adalah sufi, adalah sosok yang pantas diulas. Tokoh besar itu meninggal 10 April lalu, dalam usia 77 tahun, karena tertabrak sepeda motor ketika menyeberang jalan.

Penabraknya adalah tetangga sendiri. Danarto selama ini hidup sendiri, sejak masih bujangan. Lalu menikah, tak lama kemudian bercerai.

Danarto hidup sendirian, berteman dalam dan dengan sunyi, dan masih terus berkarya. Menulis dan melukis, atau menjadi desainer artistik produksi film.

Mungkin cerita sebenarnya ini memberi gambaran siapa Danarto. Tahun 1978, Danarto mendapat bea siswa ke Amerika. Meskipun di sana mendapat uang saku, namun perlu persiapan untuk biaya keberangkatannya.

Dan Dan(arto) tak mau diberi gratis. Akhirnya, saya memberi pinjaman sebagai honor cerita pendek untuk majalah remaja HAI. Namun sampai pulang lagi ke Indonesia, cerpen itu belum sempat dibuat.

Dan gelisah. Ia terus berusaha, dan merasa kurang pas membuat cerita yang cocok untuk remaja. Akhirnya, Dan mengirimkan uang honor, dikembalikan ke redaksi.

Sampai di sini terjadi keruwetan besar. Karena perusahaan kok menerima honor kembalian, yang secara administrasi tak pernah terjadi di bagian keuangan. Timbul pertanyaan, atau kecurigaan:

memangnya selama ini ada karya yang diberi honor sebelum dimuat. Dan pertanyaan kecurigaan lainnya. Saya dan redaktur lain termasuk yang ditanya secara investigatif.

Dan Dan melayani semua itu, menerangkan seperti apa adanya. Kejujuran dan keluguan dan kelurusan sikap kadang malah merepotkan. Peristiwa kedua, ketika Dan meminta saya mengoleksi lukisannya.

Saya melakukan dengan senang hati, dan meminta Dan sendiri memilihkan apa yang sesuai dengan saya. Masalahnya bukan di situ, melainkan ketika terjadi pembayaran, Dan menolak.

Ia menolak, dan memberi nama serta alamat penulis lain. Ia ingin membantu, dan tak ingin namanya diketahui. Agak repot, karena saya tak mau dianggap dermawan, karena memang bukan saya.

Itulah Dan yang membantu orang lain, yang tak mau merepoti siapa pun. Ketika jatuh sakit karena jantung dan dibantu teman-teman, Dan merasa perlu mendatangi dermawan sambil menunjukkan alat pacu jantung.

Sebagai tanda terima kasih. Kini, Danarto telah berbahagia dengan kesendiriannya, dengan segala keunikan dan keotentikan sikapnya.

Di tengah hiruk pikuk kegiatan selama ini di mana letaknya? Dan bukan selebritas—walau berada di dunia ini—yang suka menonjol, bahkan memilih di belakang.

Dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan: berkarya, berbuat baik, jujur, tanpa perlu publikasi. Dan rela menempuh jalan seni dengan caranya, dan memberi sesuatu yang layak diteladani, yang tak merugikan pihak lain.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Keterwakilan Perempuan di Penambahan Bawaslu Sumsel

Ketika Media Sosial Diberdayakan Kementerian LHK