Filosofi dari dominasi warna kuning di lukisan Dewi Sartika menunjukkan kelekatannya dengan ilmu pengetahuan, sementara latar biru menegaskan karakter kemakmuran bangsa. Semua dipadu dalam goresan Gutha Tamarin, yang dituangkan dengan teknik batik dingin di atas media kain sutra. Dalam lukisannya, Nurul Primayanti ingin menekankan bahwa perjuangan Dewi Sartika atas hak-hak wanita untuk mendapat pendidikan mampu membawa wanita Indonesia ke dalam fase kemakmuran berkarya.
Merasa beruntung dan terhormat, menjadi kesan pertama Nurul ketika mendapat kepercayaan untuk melukis salah satu tokoh pahlawan wanita nasional Indonesia, R Dewi Sartika, dalam pameran lukisan “Visualisasi Ekspresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan” Eksplorasi Teknik Gutha Tamarin dalam Media Kain Sutra yang digelar sejak 7–21 Agustus 2017, di Gedung C Galeri Nasional Indonesia.
“Jadi, penentuannya secara random ditentukan oleh pihak Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), perupa mana melukis tokoh siapa. Saya feeling blessed diberi kesempatan melukis Ibu R Dewi Sartika, tokoh iconic yang berhasil memperjuangankan hak-hak wanita sudah dapat kita rasakan sekarang,” tutur dosen Desain Produk Podomoro University ini.
Kemudian, ia memilih warna magenta bergradasi pink muda untuk mengisi corak tumpal (segitiga) di sisi kiri dan kanan lukisannya. Ini menggambarkan gerbang kehidupan seorang wanita yang sarat dengan konsep feminisme, sedangkan corak Bunga Patraloka dan Manuk Cangkurileung (burung kutilang) adalah ciri khas batik Bandung Priangan, asal R Dewi Sartika.
“Jadi, di bagian tengah lukisan itu saya menekankan tentang muatan lokal Indonesia, yang diwakili oleh motif khas batik Provinsi Jawa Barat,” papar perupa kelahiran Jakarta itu. Nurul merupakan salah satu dari pelukis perempuan Indonesia di Komunitas 22 Ibu yang dilibatkan dalam pameran yang dikuratori Citra Smara Dewi ini.
Pameran ini menampilkan 34 karya sejarah visual dengan melibatkan karya yang memiliki keragaman ekspresi mulai dari pendekatan realisme, dekoratif, hingga sentuhan kubisme. Pameran ini juga menghadirkan lukisan 12 pahlawan nasional, 16 tokoh pejuang kemerdekaan, dan 6 tokoh inspirasi. Hal menarik dari karya yang dipamerkan adalah penggunaan Teknik Gutha Tamarin, yaitu pengembangan teknik batik menggunakan bahan dasar berupa biji buah asam yang dihaluskan.
Bubuk asam kemudian dihaluskan dan dicampur air secukupnya dan sedikit lemak nabati atau margarin/mentega menjadi sejenis tekstur pasta. Fungsi dari pasta ini sebagai pengganti perintang cairan lilin yang digunakan pada teknik batik tradisonal di Tanah Air. Perbedaan mendasar dengan teknik batik tradisional adalah tidak menggunakan kompor sehingga sering disebut dengan teknik “batik dingin”. “Teknik Gutha Tamarin dipadukan dengan goresan kuas sehingga terdapat konsep mixed media antara teknik batik dan lukis dalam kain sutra,” kata Citra.
Gutha Tamarin memadukan berbagai teknik dalam karya seni rupa (mixed media) merupakan upaya membangun kreativitas di kalangan seniman. Tantangan berat dalam eksplorasi Gutha Tamarin dan goresan kuas dalam kain sutra adalah menghadirkan kekuatan karakter wajah tokoh sehingga risiko kegagalan relatif tinggi.
“Namun kesungguhan hati, komitmen, motivasi, dan sikap kerendahan hati menerima masukan antar peserta selama proses berkarya merupakan cerminan proses pembelajaran karakter yang patut diapresiasi,” papar Citra.
Pendidikan Karakter
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, menambahkan, pameran ini digelar sejalan dengan program Penguatan Pendidikan Karakter berbasis sejarah yang merupakan spirit dari butir Nawacita melalui gerakan nasional revolusi mental.
Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud bekerja sama dengan Pendidik Seni Indonesia dari Komunitas 22 Ibu menginisiasi pameran sejarah ini. “Pameran ini didasari oleh kesadaran jika sejarah tidak selamanya hanya ditanamkan melalui bahasa tulisan seperti naskah/arsip, melainkan juga dapat dimaknai melalui pendekatan history of images, “ kata Hilmar.
Direktur Sejarah, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud, Triana Wulandari, menerangkan bahwa membangun kesadaran akan nilai-nilai sejarah sebagai penguatan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme tidak saja dalam bentuk tekstual, namun juga dapat disajikan dalam berbagai media, di antaranya adalah film, komik, aplikasi digital, elektronik, sosio-drama, acara, lawatan, dan ekspedisi. “Kali ini melalui visualisasi ekspresi teknik Gutha Tamarin dalam kain sutra dengan mengangkat pahlawan nasional dan tokoh perempuan Indonesia,” sebut Triana. citra larasati/E-3