in

Dulu, Orang Aceh Itu Pintar-pintar

Banda Aceh – Orang Aceh dulu pintar. Begitulah tulisan yang terpampang di baliho pameran manuskrip kuno di Museum Aceh, Banda Aceh. Puluhan naskah kuno milik orang Aceh berjejeran di dalam lemari kaca untuk disaksikan generasi masa kini.

Saat masuk ke ruang pameran, sebuah sinopsis menceritakan ringkas perjalanan kemajuan Aceh tempo dulu. Aceh pernah menjadi bangsa yang besar selama berabad-abad di bawah pemerintahan Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Dua kerajaan ini berhasil mencapai kejayaannya dalam segala aspek. Termasuk kemajuan pusat ilmu pengetahuan.

 

Koleksi Naskah Karya Abad ke-13

Jejak cahaya Islam dua kerajaan tersebut memenuhi catatan para intelektual yang lahir maupun singgah di bumi serambi Mekkah. Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah tokoh yang menghasilkan karya sastra dan ilmu pengetahuan yang luar biasa.

Tgk Syik Pante Kulu, Tgk Syik Kuta Karang, juga memiliki karya di saat dilanda perang. Naskah Hikayat Prang Sabi pembakar semangat para gerilyawan Aceh.

The Globe Journal, beberapa waktu lalu menghampiri perhelatan kegiatan ini. Tidak nampak satupun pengunjung. Fety, salah satu staf nampak asik bermain handphone. Di depannya tergeletak buku tamu yang terbuka. Puluhan nama tertera di sana.

“Pengunjung yang datang ke sini umumnya berasal dari siswa sekolah, mahasiswa, dan peneliti,” ujar Fety saat ditanyai.

Karya-karya yang dipamerkan di sana berupa Al-Quran tulisan tangan. Penulisan Al-Quran mulai berkembang seiring masuknya Islam pada abad ke-13. Kemudian ada juga kumpulan syair, khutbah Jumat, hikayat bangsawan, kitab haji, serta peralatan merawat naskah tersebut.

Fety tidak tahu banyak mengenai naskah-naskah di pameran itu. Ia menganjurkan supaya The Globe Journal bertanya kepada Khairunnisak yang saat itu sedang memandu wisatawan Palembang berkeliling Rumoh Aceh. Nisa, panggilan akrabnya, merupakan staf yang memang menangani bidang naskah kuno. 

Setelah ditemui, kepada he Globe Journal, Nisa menuturkan pameran ini merupakan kegiatan temporer yang dilaksanakan setahun sekali.

Naskah yang dipamerkan berjumlah 30-an, mewakili 1.800 koleksi naskah yang ada. Ditambah karya seni menjadi 60-an benda dalam pameran. Dari 30-an naskah itu, berkaitan dengan mujarabah, faraid, tauhid, tajul muluk, dan sejarah. Kertas-kertas yang digunakan untuk penulisan naskah ada yang berasal dari Eropa.

Katanya, naskah Aceh yang paling tua adalah milik Syekh Hamzah Fansuri, berusia sekitar 1600-an tahun. Hal ini diperkirakan melalui masa hidupnya pada abad ke-16.  

“Kita lihat naskah sudah tua atau tidak dilihat dari kertasnya. Karena banyak naskah tidak ada keterangan waktu pembuatannya,” pungkasnya.

 

Beda Sikap tentang Naskah Kuno

Nisa mengungkapkan peminat naskah kebanyakan mereka yang sudah mengerti tentang naskah. Biasanya adalah peneliti yang menjadikan naskah sebagai referensi tulisannya. Lanjut Nisa, wisatawan Malaysia tergolong banyak meminati naskah kuno Aceh. Beberapa di antara mereka bisa menulis dengan aksara Arab Jawi. Salah satu aksara yang digunakan dalam penulisan naskah. 

Ia menjelaskan, sikap orang Aceh dengan orang Malaysia cenderung berbeda saat mengunjungi pameran naskah ini. “Orang Aceh banyak yang datang untuk foto-foto. Sedangkan orang Malaysia menanyakan isi naskahnya,” terangnya.

Nisa menilai, kunjungan wisatawan Malaysia ke Museum Aceh semakin meningkat. Setiap hari selalu ada wisatawan dari negeri jiran itu. Paling banyak pada Minggu karena mereka datang ke Aceh pada Jumat.

 

Leluhur Orang Aceh Pintar

Tarmizi Abdul Hamid, kolektor manuskrip kuno Aceh mengatakan, kalau leluhur tidak pintar, mereka tidak mungkin menulis manuskrip. Penulisan manuskrip ini menandakan keilmuan filsafat mereka tinggi. 

Tarmizi yang akrab disapa Cek Midi ini menambahkan, orang Aceh dulu telah mengatur segala kebijakan pemerintahan. Sayangnya, banyak manusrkrip Aceh tersebut berada di luar negeri, dibakar, serta ada yang salah dipergunakan.

“Bangsa Aceh teristimewa dalam mensyiarkan Islam masa lalu dalam manuskrip,” jelasnya.

Bahasa-bahasa yang digunakan dalam manuskrip seperti Arab Jawi, Melayu, dan Aceh. Manuskrip berbahasa banyak menceritakan tentang perbuatan, nazam, syair, dan nasihat-nasihat. Lewat syair dan sastra Islam. Salah satu karya yang begitu fenomenal adalah Hikayat Prang Sabi, ditulis oleh Tgk Chik Pante Kulu. Hikayat ini mampu membakar semangat berperang.

“Kita kehilangan jejak, sibuk mengejar status. Ingin status seperti dahulu, tapi identitas kita dilupakan,” tuturnya.

 

Kurikulum Sejarah Aceh?

Ia mempertanyakan bagaimana cara membangun sumber daya manusia. Sedangkan identitas Aceh yang penuh kebudayaan Islam, serta peninggalan sejarah tidak dirawat. Dengan berbagai naskah yang diwariskan, ia juga menyayangkan Aceh belum memiliki museum manuskrip kuno. 

Anggota Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh Dr Sofyan A Gani MA menuturkan, masa lalu merupakan pedoman melangkah ke depan. Aceh memiliki sejarah masa keemasan hingga tingkat internasional. Generasi sekarang harus mempelajari sejarah. 

Menurutnya, metode pembelajaran sejarah Aceh tidak mesti dengan memasukkan sejarah Aceh ke dalam kurikulum. Tetapi bisa dipaparkan beriringan dengan mata pelajaran yang sudah ada. “Atau bisa juga dalam bentuk muatan lokal dalam segi memperkenalkan Aceh,” imbuhnya.

Katanya, sejarah merupakan identitas yang sangat penting dijaga. Apalagi di Indonesia yang memiliki keberagaman, setiap wilayah memiliki budaya masing-masing. 

 

R1007D

Redaksi: Please enable Javascript to see the email address
Informasi pemasangan iklan
Hubungi: Please enable Javascript to see the email address
Telp. (0651) 741 4556
Fax. (0651) 755 7304
SMS. 0819 739 00 730

What do you think?

Written by virgo

Mengenal Tiga Fitur Baru WhatsApp Yang Baru Dirilis

Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Sawang, Aceh Utara