Puluhan Ribu Judul Buku Berlonggok Tanpa Pembaca
Buku tidak semata gudang ilmu, juga sebagai jendela dunia. Tidak sedikit, berkat buku telah lahir pemikir-pemikir andal. Bagaimana nasib buku saat ini yang digempur serangan kuota internet?
Tanjungpinang – Bicara buku, secara tidak langsung membicarakan kertas, sumber utama penghasil buku. Umumnya, kertas dibuat dari pohon Pinus yang sudah dewasa dengan diameter sekitar 30 sentimeter dan tinggi sekitar 18,3 meter.
Diasumsikan, jika satu pohon yang dapat diambil sebelum diolah menjadi kertas sekitar 1,3 meter per segi ongkahan kayu. Maka dari itu, yang dapat diolah menjadi kertas sekitar 730 kilogram (Kg) kayu.
Gelondongan kayu itu, lalu dikirim ke pabrik-pabrik pembuat kertas untuk diolah menjadi bubur. Dari olahan bubur tadi, hanya sekitar 50 persen atau 365 kilogram kayu dari 730 kilogram yang layak menjadi kertas.
Untuk diketahui, satu rim (satuan ukuran lembar kertas yang berjumlah 480-500 helai) kertas memiliki berat sekitar 2,27 kilo dengan 500 lembar. Maka dari 365 kilogram kayu yang layak menjadi kertas tadi, hanya menghasilkan 80.500 lembar kertas.
Siklus di atas sering dijadikan senjata bagi para pemuja zaman untuk menggerus dan menggantikan derajat kedudukan buku menjadi lembar-lembar digital.
Ini menjadi kegelisahan sendiri bagi para penggila buku, Gilang Ananda misalnya. Seorang pengunjung setia perpustakaan yang terlihat menyisipkan kegelisahan mendalam.
Di lihat dari usia, umurnya masih jauh dari tua. Namun, rutinitas yang diselipkan dalam agenda sehari-harinya tidak terlepas dari perpustakaan. Bukan karena tuntutan tugas di kampus, tapi lebih kepada melepas kerinduan dengan ragam cerita yang dituangkan dalam lembaran kertas.
”Beda bang rasanya, baca dari tablet dengan baca langsung di buku, seperti ada energi tersendiri yang mampu merangsang imaginasi,” ujarnya sembari menggamit buku ratusan halaman karya Seno Gumira Ajidharma.
Gilang merupakan pengunjung setia Perpustakaan dan Arsip Kota Tanjungpinang yang saban hari senantiasa bertandang (datang, red) meski sekejap. Tanjungpinang Pos mencoba menjelajah satu demi satu ruangan yang dijejali buku-buku di gedung perpustakaan pelat merah itu.
Pantauan mata telanjang saja, diperkirakan ada ratusan ribu buku tersusun di sana. Tentu berimbang dengan jumlah judul buku yang mencapai angka ribuan.
Dari sumber orang dalam perpustakaan, awak media dibocorkan angka pasti buku yang tersimpan dalam gedung tersebut. ”Kalau judul adalah 20 ribuan, kalau eksamplernya sekitar 400 ribu eksampler,” ucapnya yang memang bekerja di gudang ilmu tersebut.
Sayang, sekian banyak ruangan buku hanya beberapa lorong saja yang dijejali manusia. Itupun dari kalangan mahasiswa yang sekedar dituntut untuk menyelesaikan tugas makalah. Sisa ruangan yang ada hanya berisi kehampaan.
Tergerak hati untuk memasuki salah satu ruangan yang terletak di pojokan gedung. Aroma debu adalah kesan pertama menyambut kedatangan awak media. Warna dinding terlihat sama keruhnya dengan masa depan para buku yang berjejer rapi. Kapan terakhir pengunjung yang menyentuhnya pun tidak dapat diketahui karena sekujur tubuh buku sudah berselimut debu.
Padahal, dari judul dan penulis yang menuangkan buah pikirnya ke dalam lembaran halaman itu. Banyak dari mereka merupakan kaliber kelas dunia, bahkan ada di antara nama tersebut yang sudah langganan anugerah Nobel.
Perlu ditanyakan kembali tentang jumlah kunjungan yang memenuhi kolom daftar tamu di gedung perpustakaan tersebut. Apakah murni terpanggil untuk men-download pengetahuan dari setiap lembar yang dibaca atau sekedar datang lalu membolak-balikkan halaman di mesin fotokopi?
Hanya Gilang yang tampak khusyuk menenggelamkan imaginasinya ke dalam setiap judul dan lembaran. Bahkan, hingga awak media bergerak meninggalkan gedung, Gilang tampak semakin gila melahap kata-kata. (Yoan S Nugraha)