in

Jabatan Harga Diri

Oktavio Bintana,

Kembali pada etika yang merupakan tata-nan hidup. Siapa pun pasti memilikinya dan telah diajarkan sejak dahulu ketika saya, kita atau masyarakat Kepri lainnya masih kanak-kanak.

Baik itu dari orang tua, guru atau pun dari lingkungan kita tinggal dan dibesarkan. Bahkan, sampai detik ini, etika tersebut selalu menjadi pedoman dalam setiap langkah di mana saja menginjakkan kaki di muka bumi.Begitu juga di lingkungan Pemprov Kepri.

Apakah etikanya setiap pelantikan atau penggantian para pejabat dilakukan dengan mendadak atau tanpa undangan sama sekali? Itu namanya etika ”semau gue” (gue = atasan), yang mempunyai hak prerogatif.

Itu pulalah salah satu alasan Sekda Kepri yang dikenal sangat pintar bernama TS Arif Fadillah, ketika menjawab para wartawan yang mempertanyakan, mengapa tanpa ada undangan dan terkesan mendadak dalam pelantikan Eselon II, III dan IV beberapa waktu yang lalu.

Tentang hak prerogatif gubernur, saya rasa seluruh masyarakat Kepri tahu apa artinya. Bahkan anak Sekolah Dasar kelas V dan VI juga mengetahuinya. Begitu pula dengan siapa saja pegawai yang diinginkan oleh gubenur untuk dimasukkan dalam pemerintahan beliau, itu adalah hak gubernur.

Tetapi, kesemuanya itu, apakah sudah melalui jalur dan prosedur yang berlaku sesuai dengan Undang Undang ASN?

Amburadul. Alias kacau ba-lau telah tercipta dari hasil mutasi tahap pertama yang dilakukan oleh Pemprov Kepri di masa Arif Fadillah yang pintar itu resmi menjabat Sekda. Banyak suara dari masyarakat yang menilai, termasuk saya, dan lembaga resmi pemerintahan juga, yakni DPRD Kepri sebagai mitra kerja merasa secara etika telah dilangkahi oleh sebuah jawaban Sekda yang ”semau gue” (hak prerogatif gubernur).

Sekda atas nama Pemerintah Provinsi Kepri meminta maaf melalui beberapa media lokal. Kenapa undangan tidak sampai di Sekretariat DPRD? Alasannya bahwa dia telah menginstruksikan stafnya agar undangan segera diantar. Namun, stafnya teledor sehingga undangan tersebut tidak sampai sehingga menjadi pemberitaan di media.

Pertanyaan saya, apakah seorang staf berani untuk tidak mengantarkan undangan sesuai dengan perintah Pak Sekda TS Arif Fadillah? Apakah yang mengantar undangan tersebut dari stafnya yang di Sekretariat atau di Biro Humas dan Protokol?

Sedangkan menurut informasi Kabiro Humas dan Protokol, Heri Mokhrizal, saat akan ada pelantikan pada pagi waktu itu, dirinya tidak mengetahui sama sekali.

Apakah wajar dan etis seo-rang atasan ketika meminta maaf dengan alasan bahwa itu kesalahan bawahannya yang tidak menyampaikan undangan?

He he he, kembali saya tersenyum-senyum ketika membaca salah satu media lokal, yakni Harian Pagi Batam Pos memberitakan dengan judul ”Sekda Tak Penuhi Panggilan Dewan”, dengan isi berita bahwa unsur pimpinan DPRD menolak diwakili oleh asisten.

Kembali lagi permasalahan etika yang dikedepankan oleh para pimpinan DPRD Kepri. Seharusnya yang datang mewakili Gubernur Kepri dalam undangan yang dilayangkan DPRD adalah Sekda sebagai Ketua Baperjakat. Kalaulah yang memanggil itu sebatas anggota atau ketua komisi, wajar saja yang hadir adalah para asisten.

Saya tidak meminta kepada Pak Sekda TS Arif Fadillah. Namun kepada Bapak Gubenur Saya, Nurdin Basirun yang terhormat. Sebagai masyarakat yang telah memberikan satu suara terhadap Anda di pilgub beberapa waktu yang lalu, ke depan di dalam penempatan para pejabat, hendaknya bukan hanya soal SDM dan amanah saja.

Tapi jabatan yang dijabat oleh para pejabat yang dihargai dengan menjaga harga diri mereka juga. Bukan memperlakukan mereka ketika menunggu jabatan harus duduk bersila seperti anak sekolahan, sebab mereka bukan anak-anak lagi. (habis)

What do you think?

Written by virgo

Video Call WhatsApp Sudah Bisa Dinikmati

Hampir Kalah dengan Paket Kuota Internet