in

Hapusnya Sebagian Kewenangan “Executive Review”

Oleh: Hesphynosa Risfa, S.H., M.H.*

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada hari Rabu 5 April 2017, MK telah menghapus kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sekaligus kewenangan Mendagri untuk membatalkan perda kabupaten/kota. Hal ini diputuskan dalam sidang uji materi UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Uji materi ini diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) bersama 45 pemerintah kabupaten/kota lainya. APKASI melakukan pengujian puluhan pasal dalam UU Pemda namun MK hanya mengabulkan sebagian permohonan pemohon yaitu Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa “pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”.

Pasal 251 UU Pemda merupakan pasal yang memberikan kewenangan kepada Gubernur dan Mendagri untuk melakukan pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota. UU Pemda menyebutkan bahwa perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Selanjutnya dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan Mendagri membatalkan perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/wali kota. Pembatalan perda provinsi dan peraturan gubernur ditetapkan dengan keputusan Mendagri dan pembatalan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Berdasarkan putusan tersebut MK telah mengahapus sebagian kewenangan executive review yang dimiliki oleh Gubernur dan Mendagri. MK beralasan bahwa UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. MK menyebutkan bahwa keputusan gubernur bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan perda kabupaten/kota. Hal ini merupakan kekeliruan ketika perda kabupaten/kota sebagai produk hukum berbentuk peraturan (regeling) dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai produk hukum berbentuk keputusan (beschikking).

Dalam putusannya MK juga berpendapat jika perda yang dibatalkan melalui keputusan gubernur kembali digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maka dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Agar terciptanya kepastian hukum (rechts zekerheid) maka pembatalan perda cukup dilimpahkan kepada Mahkamah Agung (MA). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Apabila kita membaca dengan seksama putusan MK tersebut maka dapat dipahami bahwa saat ini executive review yang merupakan kewenangan pemerintah sebagian telah dihapus oleh putusan tersebut (khususnya pembatalan produk hukum kabupaten/kota). Kewenangan pembatalan produk hukum kabupaten/kota kini manjadi kewenangan penuh dari MA sesuai dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Namun yang perlu menjadi catatan kita bahwa Mendagri masih memiliki kewenangan untuk membatalkan perda provinsi dan peraturan gubernur karena kewenangan Mendagri tersebut masih tercantum dalam UU Pemda, yang dalam perkara ini tidak dibatalkan oleh MK. Para pemohon hanya fokus pada pengujian pasal yang berhubungan dengan pembatalan produk hukum kabupaten/kota saja. Sehingga MK hanya mengabulkan sebatas apa yang diajukan pemohon dan tidak lebih dari itu.

Dalam tinjauan hukum tata negara kita mengenal beberapa doktrin pengujian suatu produk hukum (tootsingrecht). Pengujian ini dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun melalui lembaga peradilan. Hal ini sesuai dengan asas yang menegaskan bahwa aturan hukum yang kedudukannya lebih tinggi dapat mengenyampingkan aturan hukum yang kedudukannya lebih rendah. Artinya aturan hukum yang lebih rendah harus menyesuaikan dengan aturan hukum yang ada diatasnya agar tidak saling bertentangan. Sehingga apabila kita uraikan secara lebih mendalam UU Pemda maupun UU Kekuasaan Kehakiman mengenal beberapa model pengujian. UU Pemda menegaskan setiap rancangan perda (baik provinsi maupun kabupaten/kota) harus melalui mekanisme konsultansi, fasilitasi, dan evaluasi.

Ketiga mekanisme tersebut diatur secara spesifik didalam dalam aturan pelaksana UU Pemda, yaitu Permendagri Nomor 80/2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Konsultasi merupakan tindakan secara langsung ataupun tidak langsung yang dilakukan oleh pemerintah provinsi kepada Pemerintah Pusat dan pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah daerah provinsi dan/atau Pemerintah Pusat terhadap masukan atas rancangan produk hukum daerah. Sedangkan fasilitasi merupakan tindakan pembinaan berupa pemberian pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis, supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Mendagri kepada provinsi serta Mendagri dan/atau gubernur kepada kabupaten/kota terhadap materi muatan rancangan produk hukum daerah berbentuk peraturan. Kemudian dilanjutkan pada tahap evaluasi yang merupakan pengkajian dan penilaian terhadap rancangan perda yang diatur sesuai undang-undang di bidang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk mengetahui apakah produk hukum tersebut bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tahapan ini merupakan tahapan pencegahan (executive preview) pada saat naskah produk hukum daerah masih dalam bentuk rancangan.

Setelah tahapan executive preview dilakukan maka produk hukum tersebut diundangkan oleh pemerintah daerah agar dapat mengikat seluruh masyarakat. Namun setelah diundangkan kewenangan pembatalan masih dapat dilakukan melalui mekanisme executive review berupa tindakan pemerintah yang menyatakan tidak berlakunya terhadap seluruhnya atau sebagian, buku, bab, bagian, paragraf, pasal ayat dan/atau meteri muatan produk hukum daerah karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kesusilaan (Mendagri masih dapat membatalkan produk hukum provinsi, kecuali produk hukum kabupaten/kota pasca putusan MK). Selanjutnya mekanisme lain dapat pula dilakukan pembatalan melalui uji materi (judicial review) yang dapat dimohonkan oleh warga negara yang merasa dirugikan kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman.

No. Mahkamah Agung (judicial review) Mendagri/Gubernur (executive review)
1. Perda Provinsi Perda Provinsi
2. Peraturan Gubernur Peraturan Gubernur
3. Perda Kabupaten/Kota Perda Kabupaten/Kota
4. Peraturan Bupati/Walikota peraturan bupati/walikota

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa MK telah menghapus sebagian kewenangan executive review yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah. Hal ini perlu segera ditindaklanjuti oleh Mendagri untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Mendagri tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dan menyesuaikan dengan putusan MK tersebut. Penulis sendiri sebenarnya kurang setuju dengan putusan tersebut mengingat sistem pemerintahan Indonesia lebih menekankan pada pembagian kekuasaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). Sehingga sangatlah wajar apabila pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap pemerintahan bawahannya sesuai dengan kewenangan yustisi yang dimilikinya (Pasal 10 UU Pemda). Karena Presiden sebagai kepala pemerintahan merupakan pimpinan yang tertinggi di republik ini. Ditambah lagi saat ini pemerintah tengah berusaha untuk merampingkan ketentuan regulasi yang dianggap menghambat investasi didaerah. Namun karena putusan telah dibacakan maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mematuhi dan menghormatinya (res judicata proveritate habetur).

Selanjutnya putusan ini masih menimbulkan beberapa pertanyaan yang belum tuntas bagi penulis sendiri, yaitu: bukankah dalam putusannya MK berpedoman pada Pasal 24A ayat (1) UUD 1945? Merujuk pada putusan tersebut sejatinya kewenangan executive review perda provinsi dan peraturan gubernur juga harus dihapuskan karena tidak diatur dalam UUD 1945. Karena UUD 1945 hanya memberikan kewenangan kepada MA untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Namun hal ini dapat kita pahami bahwa MK tidak boleh mengabulkan hal yang tidak dimintakan dalam petitum pemohon.

*Penulis adalah Advokat, Email: [email protected]

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Reforma Agraria Bukan Sekadar Bagi-Bagi Tanah

Sungai Pante Meluap, Rumah Warga Banjir