in

Hari Disabilitas Internasional dan Trotoar

Ahad 3 Desember 2017 lalu, saya menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Permindo Kawasan Ramah Disabilitas. HDI 2017 yang tepat jatuh pada hari Ahad (3/12) itu, diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Padang bersama dengan pengurus Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Cabang Padang. Kegiatan dimulai dengan long march para dari Simpang Kandang menuju Jalan Permindo melalui Pasar Baru yang dilakukan di atas trotoar yang baru selesai dibangun. Bukan di jalan raya.

Pagi-pagi, sekitar pukul 06.30, saya sudah berangkat dari rumah menuju titik kumpul di Simpang Kandang, menyusuri trotoar rancak Permindo sebelah timur, berbelok ke kiri arah Pasar Baru di tengah rintik-rintik rinai. 

Tidak sebagaimana trotoar Permindo yang bebas hambatan, saya mendapati keadaan yang berbanding terbalik di hampir sepanjang Jalan Pasar Baru. Mulai dari simpang Masjid Rawang, trotoar bernilai miliaran itu diambil alih oleh para pedagang. 

Mereka menggelar dagangan dengan bebas di atas trotoar tanpa rasa bersalah. Beberapa kali kaki saya tersenggol pisang, kelapa, pepaya dan sayur mayur dagangan amak-amak yang sedang berjuang menyambung hidup pagi itu. Untung nasib saya tidak seburuk Kepala Dinas Perdagangan tempo hari yang mobil dinasnya dipukul-pukul pedagang, karena menyenggol dagangan yang digelar di jalanan. Saya, sekitar pukul 06.51, sempat mengambil beberapa gambar trotoar yang diambil alih oleh pedagang itu sekadar bukti bahwa saya tidak mengarang cerita. 

Di Simpang Kandang beberapa orang panitia sudah berkumpul. Saya dan para panitia terlibat diskusi tentang fakta trotoar Pasar Baru yang akan dilalui oleh para difabel. Sebagian besar panitia mengeluhkan keadaan itu dan bertekad untuk tetap menggunakan trotoar untuk longmarch sebagai pemberian pelajaran. “Apapun keadaannya, kita tidak boleh menyerah memperjuangkan hak pejalan kaki, terutama penyandang disabilitas. Kita akan tetap longmarch menggunakan trotoar. Kita tidak akan turun ke jalan bersebab trotoar kita digunakan untuk berjualan. Apapun alasannya,” kata seorang panitia bersemangat. 

Pelaksana tugas Kepala Satuan Polisi Pamong Praja datang ke lokasi. Saya berdialog dengannya tentang fakta trotoar yang akan dilalui peserta longmarch. Anehnya, Kasat Pol PP tidak tahu sebelumnya bahwa peserta longmarch akan melalui trotoar Pasar Baru. Katanya, “kalau kami tahu peserta longmarch akan melalui trotoar Pasar Baru, pasukan saya akan membereskannya dari pagi tadi”. Yang tidak tahu ternyata tidak hanya Kasatpol PP. Seorang pejabat Dinas Perdagangan yang pagi itu ada di lapangan juga mengatakan hal yang sama.

Saya heran benar mendengar pernyataan Kasatpol PP dan pejabat Dinas Perdagangan itu. Ada dua pesan penting yang saya tangkap dari ketidaktahuan dua pejabat itu. Pertama, koordinasi sesama aparatur penyelenggara negara (dinas sosial, dinas perdagangan dan Pol PP) tidak berjalan baik. Masak iya, kegiatan resmi kota tidak diketahui oleh pejabat seperti Kasatpol PP dan Dinas Perdagangan. Ada yang salah nampaknya. Kedua, belum ada pemahaman yang sama di dalam pikiran para penyelenggara daerah tentang fungsi trotoar. Seharusnya ada atau tidak longmarch, trotoar harus bebas okupasi melawan hukum dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Selama 24 jam, trotoar tidak boleh dialihfungsikan dengan alasan apapun.

Pagi itu, Kasatpol PP minta sedikit waktu membereskan trotoar dari rupa-rupa hambatan. Janji Kasatpol PP tertepati. Lebih kurang 15 menit saja, trotoar baru dan bagus itu bebas dari hambatan. Dengan dilepas oleh Kepala Dinas Sosial Kota Padang, mulailah longmarch yang diikuti oleh anak-anak beserta guru-guru dan orangtua mereka yang berasal dari lebih kurang 30 Sekolah Luar Biasa di Kota Padang. Jumlahnya sekitar 300 orang. Jenis keluarbiasaan (disabilitas) mereka macam-macam. Ada yang tuna netra, tuna daksa, tuna runggu dan tuna-tuna lainnya. Semuanya berjalan beriring dengan riang gembira.

Sepanjang longmarch saya mendengar jelas teriakan-teriakan para orator yang memperingatkan para pedagang nakal agar tidak merampas hak-hak mereka sebagai pejalan kaki. Teriakan ketua PPDI Padang paling jelas saya dengar; “Kami berhak atas trotoar yang dapat kami akses dengan baik (accessible). Jangan rampas hak kami”. Pesan itu diucapkannya berulang-ulang.

Menjelang simpang Masjid Rawang, rombongan longmarch disongsong Wali Kota Padang yang datang dari arah pertigaan jalan Permindo-Pasar Baru. Pak Wali berbaur dengan kami sampai akhirnya berhenti di panggung pusat kegiatan yang didirikan pas di depan toko buku dan swalayan tertua di kota Padang. 

Di panggung digelar beragam pertunjukan seni yang diisi oleh anak-anak difabel, di samping sambutan oleh beberapa petinggi kota dan pembagian hadiah untuk para pemenang beragam lomba yang sudah digelar beberapa waktu sebelumnya. Dalam sambutannya, pesan Wali Kota yang paling saya ingat adalah tentang fungsi trotoar dan kewajiban Pol PP menjaganya dari okupasi pihak-pihak yang tidak bertenggang rasa; “Trotoar hanya untuk pejalan kaki. Satpol PP harus bekerja sama dengan dinas terkait untuk membebaskan trotoar dari rampasan pihak yang tidak bertanggung jawab”. 

Saya senang benar mendengar pidato pak Wali. Tapi saya jauh lebih senang kalau pidato itu dipatuhi oleh semua warga kota dan para petugas penyelenggara kota menjalankan perintah pak Wali dengan seksama. Bila semua trotoar kita sudah sudah bebas jarahan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, berarti kita sudah memberikan sebagian hak para difabel. Mudah-mudahan hak-hak lainnya seperti bidang pendidikan, berpolitik, kesehatan dan pekerjaan segera menyusul. Selamat memperingati HDI. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Upiak Isil, Penyanyi ”Tak Tun Tuang”

Otto-Fredrich Pilih Mundur