in

“Hormati Proses Hukum, Jangan Ada Pemaksaan”

Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNP F MUI) kembali akan menggelar aksi damai untuk mendukung independensi pengadilan dalam memutuskan perkara dugaan kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama.

Aksi damai kali ini akan diawali dari Masjid Istiqlal menuju Mahkamah Agung selepas melakukan ibadah salat Jumat. Sebelum ini, GNPF MUI juga beberapa kali melakukan aksi damai seperti aksi bela Islam 411, 212, 112, dan lainnya.

Lalu, apa tanggapan dari Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin, terkait aksi damai yang dilakukan oleh GNPF MUI ini? Koran Jakarta mewawancarainya. Berikut petikannya.

Apa tanggapan Anda mengenai aksi damai 5 Mei atau 55 yang masih terkait dengan Basuki Tjahaja Purnama ini?

Menurut hemat saya, meskipun demonstrasi itu hak setiap warga negara untuk mengungkapkan, mengekspresikan aspirasinya, tapi saya mengajak kita semua umat Islam, khususnya untuk betul-betul menghormati proses hukum.

Maksud Anda, semua pihak menunggu proses hukum?

Ya, kita tunggu saja proses hukum. Kan, pada akhirnya nanti hakim memutus perkara itu. Apa pun putusannya, saya kira bisa diterima dengan baik karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menghormati hukum.

Jadi, kita sebagai masyarakat yang beradab sepakat bahwa segala perselisihan, segala sengketa di antara kita itu diselesaikan dengan pendekatan hukum. Hukumlah yang menyelesaikan segala perselisihan ini secara santun dan beradab. Karenanya kita tunggu saja putusan hukum seperti apa.

Apakah saran Anda untuk peserta aksi damai?

Saya mengimbau semua kita untuk mematuhi apa pun putusan nanti dalam kasus ini. Jadi, kita tak perlu mengintervensi atau mempengaruhi para hakim apalagi dengan tekanan-tekanan massa yang sangat besar dan sebagainya. Ya, kita serahkan proses hukum.

Meski catatan awal saya bagaimanapun juga demonstrasi adalah hak setiap warga negara. Saya berharap bisa dilakukan dengan baik, damai dan sama sekali tidak melanggar ketentuan unjuk rasa.

Ada kabar bahwa kasus ini diminta diselesaikan dengan hukum Islam?

Kita pikir Indonesia adalah negara yang memiliki hukum positifnya. Hukum positif itulah yang kita akui bersama menyelesaikan persoalan-persoalan hukum kita. Saya meyakini bahwa masyarakat Indonesia khususnya umat Islam sangat memahami hukum yang berlaku di Indonesia ini adalah hukum positif yang berlaku selama ini.

Dalam kasus sangat kental dengan nuansa politik dan agama, apa perlu dipisahkan? Tanggapan Anda?

Jadi, harus dicermati betul konteks memisahkan politik dengan agama dalam konteks apa dulu. Karena secara umum apalagi dalam konteks Indonesia, bagi masyarakat yang sangat agamis, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius yang tidak bisa memisahkan diri dalam menjalani kehidupannya dengan nilai-nilai keagamaan. Maka ini bagian yang menyatu.

Lalu bagaimana?

Kaitannya memisahkan antara agama dengan politik itu konteksnya adalah ekses atau akibat atau dampak dari politik yang negatif itu yang kemudian ikut mempengaruhi kehidupan keagamaan kita. Itu yang ingin dipisahkan. Karena bagaimanapun juga kita harus memaklumi, terkadang atau sering kali aktivitas politik itu mengakibatkan munculnya ekses-ekses negatif.

Dampak negatif atau cara-cara berpolitik yang negatif bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Inilah yang dikhawatirkan bisa mempengaruhi kehidupan keagamaan. Itulah konteks memisahkan.

Berarti yang dipisahkan hanya dampak negatif dari politik?

Iya, yang dipisahkan adalah dampak aktivitas politik dalam keagamaan. m fadloli/AR-3

What do you think?

Written by virgo

Hukuman Mati

Reforma Agraria Jalan di Tempat