Kebanyakan umat Islam memiliki prasangka yang baik dalam segala sesuatu, apalagi jika berkaitan dengan ibadah. Dan memang begitulah ajaran Islam yang sesungguhnya: berprasangka baik terhadap siapa dan apapun. Maka umat tak akan berprasangka buruk akan dipakai untuk apa dana yang disedekahkannya ke pengemis, diinfakkannya lewat pengurus masjid, atau dizakatkannya lewat panitia zakat (amil). Termasuk juga dalam konteks ini dana yang disetorkannya untuk biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), biaya umrah ke travel perjalanan, dan biaya lainnya yang ada nuansa ibadahnya.
Tapi kasus First Travel di Jakarta mungkin menyentakkan banyak pihak. Agen perjalanan umrah yang berbiaya murah, bahkan sangat murah ini tak sanggup memberangkatkan jamaahnya. Diduga, dana jamaah diputarkan dulu untuk bisnis lain. Saat bisnis tak jalan, maka jamaah pun gagal berangkat.
Dari 72.682 pendaftar, First Travel baru memberangkatkan 14.000 orang. Selebihnya, sebanyak 58.682 calon jamaah masih terkatung-katung menunggu kepastian. Tidak jelas. Total kerugian para korban ditaksir Rp 848,7 miliar. Sangat fantastis. Uang tersebut diduga digunakan pengelola untuk membeli sejumlah aset, mengembangkan bisnis pribadi, dan lainnya. Polisi juga tengah menyelidiki dugaan tindak pidana pencucian uang dalam kasus ini.
Memang, banyak sekali dugaan dan prasangka yang akhirnya dialamatkan kepada pemilik First Travel. Diduga, dana jamaah digunakan untuk investasi di bidang lain, termasuk investasi bodong.
Dana jamaah umrah First Travel juga diinvestasikan untuk bisnis lain, seperti butik, hingga restoran. Bahkan sebuah restoran di London, Inggris, diduga merupakan milik bos First Travel, yang ujung-ujungnya merupakan dana jamaah.
Tawaran penyelenggara umrah ini memang menggoda. Saat travel umrah lain menawarkan harga Rp 24 juta per jamaah, First Travel menawarkan harga Rp 14 juta. Harga yang sebenarnya tak masuk akal. Diduga, dana Rp 14 juta itu tak akan cukup membiayai akomodasi dan lainnya. Maka pemberangkatan 14 ribu jamaah diduga karena adanya topangan dana penyetor baru. Sampai pada titik tertentu, ketika ada salah perhitungan investasi, maka gagal berangkat pun dimulai.
Beberapa analis memperkirakan, pengusaha First Travel menggunakan skema ponzi dalam menjalankan bisnisnya. Artinya, dana nasabah berikutnya digunakan untuk memberangkatkan nasabah yang sudah terlebih dahulu mendaftar. Sistem yang dikenal sebagai multi level marketing (MLM) ini, digunakan dalam ibadah.
Kini semua telah terjadi. Pemilik First Travel telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka juga telah ditahan. Bagaimana dengan jamaah yang gagal berangkat? Siapa yang bertanggung jawab? Polisi jelas tak mungkin sampai pada tahap itu, karena hanya fokus pada masalah hukumnya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mulai ikut menangani juga tak bisa berbuat banyak. Travel lain pun tak memungkinkan karena ini sangat riskan dan berisiko. Pemerintah melalui Kemenag menyebut tak bisa berbuat sampai sejauh itu (memberangkatkan jamaah), karena tak ada regulasinya.
Muncul pula wacana, terutama dari para korban yang jumlahnya puluhan ribu. Pemerintah bisa saja memberangkatkan jamaah dengan dana haji. Apalagi saat ini dana haji mencapai Rp 100 triliun. Dana itu nanti dibayarkan dari penyitaan seluruh aset milik para bos First Travel. Apakah memungkinkan? Mungkin saja. Tapi jalannya tentu sangat berbelit. Saat ini, pemerintah pun sebenarnya mulai mengotak-atik dana haji. Katanya untuk membangun infrastruktur. Nah, pemerintah pun sebenarnya berusaha menggunakan dana umat untuk kepentingan lain, mencoba bermain api pada dana umat. Dana umat memang menggiurkan. Tapi, kepercayaan umat ada batasnya. Hati-hatilah. Jagalah amanah umat ini. (*)
LOGIN untuk mengomentari.