in

Kualitas Seleksi Jabatan Rendah

KASN: Kepala Daerah masih Intervensi Pansel

Kepatuhan daerah terhadap sistem pengisian jabatan belum menyeluruh. Hasil pengawasan komisi aparatur sipil negara (KASN), kualitas pelaksanaan seleksi terbuka (lelang) jabatan pimpinan tinggi (JPT) di lingkungan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota belum merata. 

Pemerintah kabupaten/kota yang paling mencolok. Di antara 73 persen dari 514 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan seleksi pejabat tinggi, banyak ditemukan celah terjadinya perilaku koruptif.

Celah-celah itu ada di tingkat panitia seleksi (pansel) hingga kepala daerah selaku pengambil keputusan akhir hasil rekrutmen terbuka tersebut. Wakil Ketua KASN Irham Dilmy mengatakan, modus yang umum dilakukan yaitu kepala daerah masih terlibat secara tidak langsung dalam proses seleksi.

Intervensi itu dilakukan mulai saat pembentukan pansel sampai pengumuman. Bahkan, ada pula bupati/walikota yang sengaja menurunkan kualitas pansel demi memuluskan modus tersebut. 

“Ada 23 persen (dari 73 persen daerah pelaksana seleksi) kualitasnya tidak maksimal,” ujarnya di Jakarta, kemarin (12/1). Sebagai catatan, jabatan pimpinan tinggi pratama di daerah seperti kepala dinas dan sekretaris daerah (Sekda) mesti diisi melalui proses seleksi terbuka atau lelang. 

Operator rekrutmen itu harus terdiri dari pihak internal pemerintah daerah (45 persen) dan eksternal (55 persen). Sistem baru itu diatur dalam UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 

Irham mengungkapkan, modus curang pengisian jabatan pimpinan tinggi mayoritas dilakukan kepala daerah untuk meraup keuntungan pribadi. Sebagian ada pula yang dilandasi faktor keluarga antara kepala daerah dengan calon pejabat yang ikut seleksi.

“Untuk tata caranya memang sudah sesuai ketentuan, tapi disini kualitasnya yang masih belum maksimal,” terangnya. Dalam pengisian jabatan tinggi, kepala daerah berhak memilih satu dari tiga calon pejabat hasil seleksi.

Nah, celah itu yang bisa digunakan kepala daerah untuk meminta sejumlah uang kepada calon pejabat yang ingin menduduki posisi yang diperebutkan itu. Kasus suap di Klaten menjadi salah satu contohnya. “Kalau mereka (Pemkab Klaten) konsultasi ke kami (KASN), kami bisa stop,” jelasnya.

Anggota KASN Waluyo menambahkan, sepanjang 2016 lembaganya menerima 56 pengaduan pelanggaran netralitas ASN. Mulai pengaduan tentang pejabat daerah yang tidak adil dalam melakukan seleksi jabatan tinggi sampai ASN yang terlibat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sampai saat ini, baru 37 pengaduan yang diselesaikan. Selebihnya masih dalam proses penyelidikan KASN. Waluyo menjelaskan, masih banyak aparatur sipil yang memiliki kecenderungan takut saat mengadu ke KASN. Kondisi itu menyulitkan penyelidikan pelanggaran-pelanggaran ASN di daerah selama ini.

“Sebenarnya mereka (ASN) bisa membuat laporan tertulis ke kami. Biasanya memang setelah ada tindaklanjut dari kami (KASN) baru banyak yang laporan,” bebernya. 

Waluyo mengakui, sistem rekrutmen terbuka yang dilaksanakan selama ini masih belum sempurna. Sebab, ketentuan yang ada saat ini mengatur jika kepala daerah memiliki kewenangan menentukan calon pejabat hasil seleksi pansel. Bahkan, kepala daerah juga punya kewenangan mengeluarkan surat keputusan (SK) pembentukan pansel. 

“Cara mengawasinya dengan melihat kualitas pansel (bentukan kepala daerah),” ujarnya. Sesuai ketentuan, pelaksanaan seleksi mesti dikoordinasikan dengan KASN dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Nah, fungsi tersebut yang bisa digunakan KASN untuk memperketat kualitas pansel.

“Kalau kira-kira kompetensi (pansel) tidak sesuai dengan bidang jabatan yang diseleksi, kami bisa merekomendasikan untuk dikembalikan (usulan pansel),” imbuhnya. 

Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik dan Politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi menyebutkan, sudah jadi rahasia umum dalam lelang jabatan pemerintah daerah subjektivitas lebih mendominasi dibanding objektivitas.

Dalam hal ini, kepala daerah lebih memilih kandidat yang mampu bekerja sama dengannya, dibanding orang yang tak dikenal.

“Kepala daerah tentu akan memilih orang yang bisa dipercayanya. Makanya, subjektivitas lebih mendominasi. Sayangnya, belum ada aturan yang mengatur secara rinci sejauh mana unsur subjektivitas dapat mempengaruhi,” ucapnya.  

Menurut dia, adanya pejabat titipan pada lelang jabatan di pemda sudah menjadi rahasia umum. “Selama ini lelang jabatan hanya memenuhi syarat materil. Namun, subjektivitas kepala daerah masih menentukan seseorang terpilih atau dipercaya memegang amanah jabatan,” ucapnya.

Selain kompetensi, Asrinaldi mengingatkan pejabat terpilih harus punya rekam jejak baik alias tidak pernah bermasalah. Jika tidak, Asrinaldi khawatir bisa jadi beban bagi kepala daerah di kemudian hari. 

Dia mengkritisi sebagian besar pemda di Sumbar tak mencantumkan nilai peserta lelang jabatan. Dengan begitu, masyarakat sulit mengontrol lelang yang diklaim transparan tersebut. “Saya tidak tahu, apakah ini ada aturannya atau tidak. Seharusnya ada transparansi  nilai,” ucapnya.

Untuk itu, dia mengusulkan agar sistemnya diperbaiki agar lelang berjalan transparan dan objektif. “Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Menteri PAN-RB dan aturan Komite ASN harus dibenahi agar tak memberikan celah bagi subjektivitas kepala daerah. Penilaian benar-benar murni dari panitia seleksi,” usulnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Pemkab-Pemko Bisa Bantu Biaya SMA/SMK

RI Dorong Kerangka Waktu Konkret Perdamaian Israel-Palestina