in

Menelusuri Pulau Pagai Utara dan Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai -1

Rawat Toleransi, Satu Pesta Ada Dua Menu 

Setelah 18 tahun menjadi kabupaten, Kepulauan Mentawai belum lepas dari jerat kemiskinan, kebodohan dan minimnya akses. Namun untuk toleransi antar agama dan antar etnis, daerah lain harus belajar ke kabupaten ini. 

Klakson panjang menandakan KM Ambu-Ambu yang melayani rute Padang-Sikakap, segera berlabuh. Setelah berlayar 12 jam, pukul 06.41, kapal bersandar di Pelabuhan Sikakap. Para penumpang sibuk mengemasi barang-barang bersiap turun dari kapal. Di dermaga, tukang ojek dan keluarga sudah menanti. 

Padang Ekspres menginap di Wisma Lestari, kawasan Masabuk, Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap. Masabuk merupakan pusat perekonomian Pulau Pagai Utara dan Selatan. Di samping pasar, toko-toko menjual kebutuhan harian, barang elektronik, bank, kantor pos, penjahit dan kebutuhan lainnya terdapat di sana. 

Dari pelabuhan, Padang Ekspres menggunakan ojek menuju daerah yang berjarak sekitar 2 km itu. Ongkosnya lumayan mahal, Rp 10 ribu. Begitu memasuki Masabuk, suasana plural terasa kental.

Dari speaker masjid, terdengar suara anak-anak peserta didikan subuh melantunkan ayat-ayat pendek dan bacaan shalat. Sementara di jalanan, anak-anak dan ibu-ibu berpakaian rapi mengapit Al Kitab di tangan. Mereka bersiap-siap melaksanakan kebaktian di Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM). 

Sejak dulu, masyarakat Pulau Pagai sudah terbiasa dengan pluralisme. Etnis asli Mentawai hidup berdampingan dengan warga pendatang dari Suku Minang, Batak, Nias dan Jawa. 

”Orang pendatang disebut sasereu. Biar begitu, sangat pantangan bagi kami (masyarakat asli) menyebutkan istilah itu,” jelas Raju Everlitan Tasirileleu, salah seorang warga asli Pulau Pagai Utara yang juga keturunan Sibakkatlagai, sebutan bagi tuan tanah di Mentawai. 

Sejak masih berstatus kecamatan dan berada dalam wilayah administrasi Padangpariaman, masyarakat Mentawai sudah membaur dengan pendatang. Bahkan, si tuan tanah itu tak segan memberikan tanahnya kepada para pendatang.

“Sebagian besar masyarakat asli Mentawai memang beragama Kristen. Namun, pendatang yang diberi tanah tak harus mengikuti keyakinan pemilik tanah,” jelasnya.

Biasanya, pendatang yang mendapat tanah sudah menetap lama dan dianggap bagian dari keluarga. Sebut saja warga Padangpariaman dan Pesisir Selatan yang bermukim di Pagai Utara. Lewat pendatang itu, penduduk asli belajar membuat jala dan bertani. 

Pria yang juga jemaat GKPM itu menuturkan, biasanya pembauran di Pulau Pagai terjadi lewat perkawinan. Tak sedikit penduduk asli seusai menikah mengikuti agama istri atau suaminya. 

Raju sendiri contohnya. Meski penganut Kristen dan pengurus resort, sebuah organisasi yang membawahi beberapa gereja, kakak kandungnya seorang muslim taat dan telah naik haji.

”Kami tetap damai. Apa pun agama yang dianut, dijalankan sebaik-baiknya. Jangan setengah-setengah. Buat apa Kristen tak pernah ke gereja, buat apa pula muslim kalau tak pernah Shalat Jumat,” ulas Raju. 

Kakaknya memeluk Islam setelah menikahi gadis asal Batusangkar. Keduanya hidup berdampingan dengan damai di Pulau Pagai Utara. Keluarga istrinya kerap datang dan menetap di Mentawai. Namun sejak tsunami, kakak dan keluarga istrinya pindah lagi ke Batusangkar. 

Elly, warga Masabuk asal Batangkapas, Pesisir Selatan, yang sudah 19 tahun menetap di Sikakap, mengakui tingginya toleransi antar-umat beragama. Warga asli memperlakukan keluarganya sebaik mungkin. 

Ada satu tradisi yang di mata Elly menjadi salah satu bentuk toleransi yang sangat membuatnya haru. Yaitu, apabila ada suku asli Mentawai nonmuslim melaksanakan hajatan, tuan rumah menyediakan dua menu. Satu menu adat khusus bagi tamu beragama Kristen, dan satu lagi menu khusus buat tamu beragama Islam. 

Peralatan dan tukang masaknya pun dibagi dua. Yang satu khusus memasak menu untuk tamu beragama Kristen, dan satu lagi khusus bagi tamu beragama Islam. “Tempat penyajiannya juga dibagi dua. Itulah bentuk penghargaan warga Mentawai pada warga yang tidak seagama dengan mereka,” jelasnya.

Setiap hari besar keagamaan, warga Mentawai merayakannya dengan suka cita, penuh kedamaian dan saling membantu. Misalnya, ketika ada gotong royong membersihkan masjid jelang Lebaran, warga asli pun tak sungkan datang membantu. 

“Kalau kita bertamu ke rumah warga nonmuslim, kita disuguhi minimal kaleng atau air mineral. Begitulah warga Mentawai menghargai perbedaan,” jelasnya. 

Ketua Badan Syiar Islam (BSI) Pagai Utara dan Selatan, Budi Wiharjo yang juga Penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) Sikakap mengatakan, persentase umat Kristen Protestan dan Katolik di Pulau Pagai Utara dan Selatan mencapai 79 persen, sedangkan Islam hanya 21 persen.

Di dua pulau yang dihantam tsunami pada tahun 2010 itu, terdapat 3.800 gereja dan 24 masjid. Dari 24 masjid itu, menurut Budi, hanya 6 masjid benar-benar aktif. Selain rutin melaksanakan Shalat Jumat, juga kegiatan wirid mingguan, didikan subuh dan kegiatan lainnya.

“Sedangkan 18 masjid lainnya hanya jadi tempat shalat wajib lima kali sehari. Kalau Shalat Jumat jumlah jamaahnya tidak cukup, jadi jamaahnya pergi ke masjid yang lebih ramai,” jelasnya. Salah satu kendala pengembangan syiar Islam di Mentawai, adalah kekurangan mubalig. 

“Saat ini ada program pengembangan kualitas dan bantuan operasional mubalig dibantu dari Lembaga Amil Zakat (LAZ) PT Semen Padang. Namun, kabarnya tahun depan bantuan tersebut tidak ada lagi. Soalnya, semua bantuan dari LAZ harus disalurkan lewat Badan Amil Zakat Nasional (Baznas),” sebut Budi. 

Untuk menjaga kerukunan umat beragama, sudah terbentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB di sini tidak perlu bekerja keras lagi karena kerukunan, toleransi dan keberagaman sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat. 

Kepala Biro II Bagian Humas Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM), Rudi Saleleubaja menuturkan, kerukunan umat beragama di Mentawai sudah tercipta dan terpelihara dari dulu. Bagi warga Mentawai, keberagaman dan toleransi sudah menjadi bagian dari kehidupan dan berjalan sangat indah. 

“Tidak ada intimidasi, tidak ada intervensi dalam menjalankan kerukunan di sini (Pagai Utara dan Selatan, red). Semuanya berjalan dengan sendirinya, menjadi bagian kehidupan masyarakat,” ulasnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Arsenal Melawan Kutukan

Perkuat Komunikasi di Perbatasan, LPP RRI Bangun Pemancar di Miangas dan Sumba