in

Optimalisasi TP4D Kejaksaan

Belajar dari tahun sebelumnya, menjelang tutup anggaran pada pertengahan Desember nanti, dipastikan persoalan pertanggungjawaban pengelolaan dana desa menjadi isu krusial yang menguras energi pemerintah. Mengapa tidak, jumlah alokasi dana desa  yang telah dicairkan pemerintah sepanjang tahun 2017 yaitu sebesar Rp 60 triliun. Besaran dana desa ini mengalami kenaikan 3 kali lipat dari tahun anggaran 2015 dan mengalami kenaikan 28% dari dana desa tahun 2016 ini yang sebesar Rp 49,96 triliun.  

Berdasarkan catatan ICW, sejak 2015 hingga Semester I 2017, ada 110 kasus korupsi anggaran desa (dana desa, alokasi dana desa dan pendapatan desa) yang telah diproses oleh penegak hukum dan diduga melibatkan 139 pelaku dengan jumlah kerugian negara mencapai Rp 30 miliar. Dari segi aktor, 107 dari 139 pelaku merupakan kepala desa. Aktor lainnya yakni 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2 tersangka. ICW mengindentifikasi 7 bentuk korupsi yang umumnya dilakukan pemerintah desa yakni penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, punguran liar, penggelembungan anggaran, laporan fiktif dan pemotongan anggaran serta suap.

Untuk tahun depan, pemerintah berencana menaikkan kembali dana desa menjadi Rp 120 triliun atau dua kali lipat dari tahun ini. Dalam rangka membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan desa khususnya terkait dana desa, perlu adanya komitmen bersama dan pengawasan intensif dari para pemangku kepentingan. Integritas adalah hal pertama yang harus dimiliki oleh kepala desa dan perangkat desa. Jika memiliki integritas yang baik, maka kepala desa dan perangkat desa akan memandang keuangan desa sebagai amanah yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan warga desa. 

Dengan demikian, kepala desa dan perangkat desa tidak memiliki pemikiran untuk menyalahgunakan dana  desa untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga. Hal kedua yang harus ada agar pengelolaan keuangan desa akuntabel adalah adanya sistem pengelolaan keuangan yang sederhana tapi kuat dan adanya transparansi pengelolaan keuangan di tingkat desa. Terkait sistem keuangan, dapat digunakan sistem pengelolaan keuangan yang telah disusun oleh pemerintah di dalam Permendagri No 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. 

Di luar itu semua, penguatan semua  institusi pengawas keuangan negara menjadi agenda penting untuk mengawal dana desa ke depan. Salah satunya adalah Tim Pengawal, Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D).

Pembentukan TP4D

Pembentukan TP4D ini disebabkan karena pada tahun 2015 lalu penyerapan anggaran yang dialami oleh pemerintah pusat maupun daerah sangat rendah. Hal ini dikarenakan banyak pejabat daerah yang takut dipidanakan apabila salah atau menyimpang dalam menggunakan anggaran tersebut. Dengan TP4D, diharapkan setiap pejabat daerah dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bisa meminta pendampingan untuk penggunaan anggaran keuangan daerah, sehingga semuanya bisa tepat sasaran dan program pembangunan bisa berjalan dengan baik. Pendampingan yang diberikan oleh TP4D kepada pejabat daerah dari SKPD ini sampai pada pengawasan hasil pembangunan yang dilakukan.

Awalnya pembentukannya dimulai dengan terbitnya Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor INS-001/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan dan Pelaksanaan Tugas Tim Pengawal, Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P) dan Daerah (TP4D). Dasar filosofi dibentuknya TP4P dan TP4D adalah agenda prioritas dari Presiden RI Joko Widodo dalam menjalankan roda pemerintahan yang tercantum di dalam 9 (Sembilan) Agenda Prioritas yang disebut Nawa Cita. Sebagai tindak lanjut dari 9 (sembilan) Agenda Prioritas Nawa Cita, maka Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 pada tanggal 6 Mei 2015. 

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 dimaksudkan untuk meningkatkan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di instansi pemerintahan yang perlu didukung dan dilaksanakan secara terencana dan sungguh-sungguh sehingga kegiatan pencegahan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia dapat berlangsung dengan efektif dan optimal. Dari adanya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 ini, maka Kejaksaan Republik Indonesia memandang perlu memberikan pendampingan kepada pejabat pemerintahan terkait dalam hal akselerasi pembangunan dan programprogram strategis pembangunan nasional.

Optimalisasi

Kendati diapresiasi, kebijakan dana desa yang minim pengawasan memang sudah menimbulkan kekhawatiran sejak awal. Sejak akhir tahun pertama dana desa dicairkan, sudah banyak cerita beredar tentang dugaan penyimpangan dalam pemanfaatan dana desa itu. Akan tetapi, mungkin karena cerita tersebut berkembang di desa-desa sehingga luput dari perhatian para elite di kota. 
Bila ditelisik lebih jauh, dari kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam pengelolaan dana desa, ada beberapa modus operandi yang dilakukan, yaitu  membuat rancangan anggaran biaya (RAB) di atas harga pasar kemudian membayarkan berdasarkan kesepakatan yang lain. 

Kepala desa mempertanggungjawabkan pembiayaaan bangunan fisik dana desa padahal bersumber dari sumber lain, meminjam sementara dana desa dengan memindahkan dana ke rekening pribadi kemudian tidak dikembalikan, pemotongan dana desa oleh oknum pelaku, membuat perjalanan dinas fiktif dengan cara memalsukan tiket penginapan/perjalanan, mark up pembayaran honorarium perangkat desa. Kemudian, pembayaran ATK tidak sesuai dengan real cost dengan cara pemalsuan bukti pembayaran, memungut pajak, namun hasil pungutan pajak tidak disetorkan ke kantor pajak, dan melakukan pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun diperuntukkan secara pribadi.

Orang yang sangat rentan untuk melakukan korupsi biasanya orang-orang yang sangat dekat atau terlibat langsung dalam pengelolaan kegiatan yang melibatkan sejumlah dana yang cukup besar. Dari beberapa kasus korupsi dana desa, yang terjadi di Indonesia dapat terlihat bahwa yang berpotensi besar sebagai pelaku tindak korupsi adalah para kepala desa dan aparat desa karena mereka memilik akses langsung dalam pengelolaan dana. Sebagaimana disebutkan di Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Pasal 3 disebutkan bahwa kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Disinilah peran strategis TP4D.

Dalam pengawasan dana desa, TP4D memiliki tugas dan fungsi untuk mengawal mengamankan dan mendukung keberhasilan pemerintahan dan pembangunan melalui upaya-upaya pencegahan preventif dan persuasif atas penyusunan, perencanaan dan penggunaan dana desa. TP4D juga memberikan penerangan hukum di lingkungan instansi pemerintah, khususnya pemerintahan desa dan badan usaha yang dibentuk di desa. Khususnya terkait materi tentang perencanaan, pelelangan, pelaksanaan pekerjaan, pengawasan pelaksanaan pekerjaan, perizinan, pengadaan barang dan jasa, tertib administrasi dan tertib pengelolaan dana desa. Selain itu penting bagi TP4D menjalin koordiansi dengan Inspektorat dalam memonitor penggunaan dana desa. Sehingga, supremasi hukum tidak ada kesewenangan terhadap aparatur yang mengelola dana desa, khususnya kepala desa dan aparat desa lainnya. 

Aksi pencegahan korupsi dan desa perlu dilaksanakan untuk percepatan pembangunan desa guna memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Kejaksaan RI sebagai lembaga penegak hukum berperan mendukung pembangunan pemerintah pusat maupun daerah. Optimalisasi tugas dan fungsi TP4D untuk mengawal, mengamankan dan mendukung keberhasilan pemerintahan dan pembangunan melalui upaya-upaya pencegahan preventif dan persuasif. 
Pada akhirnya, kebijakan dana desa harus meng­adopsi prinsip kehati-hatian (prudent) agar niat menggerakkan perekonomian desa tidak menjadi target bagi para pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Tata kelola, peman­faatan, dan pengawasan dana desa harus diperbaiki. Disinilah peran strategis dari TP4D. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

BPR LPN Kampung Manggis Dilikuidasi

Pelayanan di Cucuran Atap, Paradoks Pendidikan Kita