Pasal 27 ayat 3 dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau yang lebih dikenal dengan sebutan pasal karet dianggap menjadi ‘alat’ pamungkas untuk menjerat suatu perkara hukum berkaitan dengan ITE.
Hal ini disampaikan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) yang mencatat sebanyak 79,3 persen perkara ITE menggunakan pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik.
“Tahun ini ada 77 (kasus), tahun lalu 34. Naik hampir dua kali lipat,” ujar relawan Safenet Makassar Daeng Ipul di Jakarta, Rabu (28/12).
Disebutnya, kelompok penguasa menjadi yang paling sering menggunakan instrumen tersebut. Berdasarkan catatan Safenet per 19 Desember tahun ini, 36,7 persen dari 177 laporan perkara mengenai ITE berasal dari kalangan penguasa.
Temuan tersebut langsung menjadi sorotan Safenet dan aktivis literasi internet lainnya. Ipul mencatat pasal karet itu sudah digunakan oleh bupati, walikota, anggota DPR, DPRD, dan gubernur.
“Kalau yang paling terakhir ini kasus Yusniar di Makassar yang bikin status no mention. Dia sebenarnya korban yang rumah dirusak oleh sekelompok orang salah satunya dipimpin oleh anggota DPRD,” tutur Ipul.
Laporan hukum dengan pasal 27 ayat 3 oleh kalangan penguasa jauh melebihi laporan dari warga biasa yang hanya menyentuh 19,8 persen, profesional 22 persen, dan pengusaha 1,69 persen.
Data tersebut diambil dari kasus terverifikasi di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2008 hingga 2016.
Di luar 177 laporan yang sudah terverifikasi tadi, masih ada 48 kasus ITE yang laporannya belum lengkap. Namun Ipul memperkirakan angka itu masih kurang dari jumlah kasus yang tidak terlacak.
Sorotan lainnya, jejaring sosial Facebook dinilai sebagai ‘sarang’ perkara yang terkena jeratan regulasi ini.
Tercatat ada 100 perkara yang terjadi disebabkan postingan di Facebook. Bahkan setelah revisi pun, penggunaan pasal pencemaran nama baik UU ITE masih terjadi.
“Ada satu kasus di Nusa Tenggara Barat. Terlapor langsung ditahan karena dianggap tidak kooperatif,” lanjut Ipul.
Salah satu poin penting dari revisi UU ITE yang sudah berjalan sejak 28 November lalu adalah pengurangan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp750 juta.
Pengaruhnya, pasal 27 ayat 3 beralih menjadi delik aduan dan sang terlapor tak bisa langsung ditahan selama masa pemeriksaan.
Kendati begitu, banyak pihak yang menilai perubahan tersebut tidak substantif. Penilaian itu salah satunya datang dari Prita Mulyasari yang pernah menjadi terlapor kasus ITE.
“Revisi pencemaran baik ini kriterianya apa? Kita tahu kriteria kritik atau pencemaran baik setelah kita masuk ke dalam pembuktian,” ucap Prita.
Menurut Prita, regulasi dan pemerintah selama ini tidak membeberkan perbedaan yang jelas antara kritik, pencemaran nama baik, ataupun pendapat.
Alhasil ia pesimis hasil revisi UU ITE, meski bagus sudah mengurangi ancaman hukuman, tak akan berdampak signifikan terhadap penyalahgunaan aturan pencemaran nama baik.
CNN
Redaksi: Please enable Javascript to see the email address
Informasi pemasangan iklan
Hubungi: Please enable Javascript to see the email address
Telp. (0651) 741 4556
Fax. (0651) 755 7304
SMS. 0819 739 00 730