Munculnya gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tentang keberadaan guru penggerak memberikan warna baru bagi sistem pendidikan di Indonesia.
Pada dasarnya gagasan tersebut merupakan perwujudan pemikiran Ki Hajar Dewantoro tentang esensi pendidikan sesungguhnya.
Melalui tiga semboyan fenomenalnya yakni Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangunkarso, dan Tut Wuri Handayani, Bapak Pendidikan Nasional itu mencoba meletakkan pondasi dasar posisi seorang guru di republik ini yakni menjadi pemimpin, menjadi motivator dan menjadi pendukung.
Agaknya, ketiga konsepsi berpikir tersebut yang kembali ingin dikuatkan oleh pemerintah saat ini hingga melahirkan pula slogan baru yakni guru penggerak. Sebagai sebuah istilah baru, gagasan ini berkembang dengan cepat dan meresap ke seluruh sendi sistem pendidikan yang ada saat ini.
Salah satu konsekuensi yang muncul sebagai efek domino gagasan ini adalah munculnya program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Pada satu sisi, gagasan guru penggerak jelas memiliki tujuan yang sangat mulia. Andai kata, pemikiran Ki Hajar Dewantoro tersebut benar-benar dapat dipraktekkan secara sempurna oleh gagasan guru penggerak ini, tentu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia akan meningkat signifikan ke depannya.
Hanya saja, gagasan di atas kertas teramat sering menjadi berbeda dengan realita yang dipraktekkan di lapangan. Berdasarkan pengalaman penulis, setidaknya terdapat permasalahan yang patut kiranya menjadi catatan bagi pembuat kebijakan terkait pendidikan guru penggerak ini.
Pertama, jadwal lokakarya dan jadwal tugas yang tersedia di LMS (Learning Management System) sangat padat. Kedua kegiatan itu harus dilaksanakan oleh para calon guru penggerak secara berbarengan, baik secara daring maupun secara luring.
Pendidikan Guru Penggerak yang dilaksanakan selama enam bulan itu harus terlaksana secara optimal yang mana para guru harus menyelesaikan semua modul yang ada di LMS. Seluruh calon guru penggerak harus menyerahkan tugas sesuai sesuai due date yang telah ditentukan.
Keterlambatan pengumpulan tugas akan merugikan calon guru penggerak dan akan menyebabkan para guru tersebut tidak lulus. Bisa dibayangkan, para calon guru penggerak harus menyelesaikan 9-11 tugas di LMS.
Pada saat bersamaan, para guru juga harus menunaikan kewajiban utamanya sebagai seorang guru yakni mengajar di kelas/online. Belum lagi kemudian, padatnya jadwal lokakarya dalam 8 jam tatap muka telah membuat energi para calon guru penggerak terkuras.
Kedua, belum meratanya kuota untuk menjadi Guru Penggerak di berbagai daerah di Indonesia. Sebetulnya, Pendidikan Guru Penggerak merupakan kegiatan yang sangat diidam-idamkan oleh semua guru, baik guru PNS ataupun guru non PNS.
Hal ini dikarenakan banyak keuntungan yang didapat setelah menyelesaikan Pendidikan Guru Penggerak ini. Di antara keuntungan menjadi Guru Penggerak adalah memiliki Sertifikat Guru Penggerak yang merupakan salah satu syarat menjadi kepala sekolah.
Selain itu, Guru Penggerak juga akan mendapatkan tunjangan kesejahteraan. Sebagai konsekuensi logisnya, segala tambahan fasilitas yang akan diperoleh tersebut telah membuat beberapa daerah bersaing untuk mendapatkan kuota Pendidikan Guru Penggerak.
Persaingan itu tentu sah-sah saja, hanya saja kuota yang tersedia tidak memadai untuk menjadikan program ini bisa merata di seluruh daerah. Ketiga, suasana yang tidak kondusif saat lokakarya.
Patut disimak dengan seksama bahwa kegiatan Pendidikan Guru Penggerak ini dilaksanakan dalam skala nasional dengan jumlah anggaran dana yang diluncurkan untuk setiap daerah tidak sedikit. Kucuran dana yang sangat fantastis ini seharusnya ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai.
Namun sangat disayangkan, lokakarya yang dilaksanakan dengan jadwal materi yang sangat padat justru terlaksana dengan sarana yang tidak mendukung, seperti ruangan yang tidak kondusif dan sound system yang tidak maksimal.
Selain itu, selama mengikuti pelatihan ini, calon guru penggerak harus menyiapkan paket data internet yang sangat besar. Walaupun selama mengikuti pelatihan, setiap calon guru penggerak mendapatkan insentif paket data sebesar Rp 125 ribu setiap bulan, tetapi jumlah tersebut masih belum mencukupi kebutuhan data yang diperlukan.
Sebagai gambaran, insentif sebesar itu hanya cukup untuk membeli paket data sebanyak 30 GB. Bisa dibayangkan, kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap calon guru penggerak dalam satu minggu ada sekitar 5-8 Vicon yang mana satu kali vicon menghabiskan data sebesar 4 GB.
Butuh Penguatan Koordinasi
Berangkat dari fenomena di atas, dirasa perlu bagi para pemangku kebijakan untuk memperhatikan kembali praktek di lapangan terkait Pendidikan Guru Penggerak ini. Menurut hemat penulis, penguatan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan kunci dalam menyelesaikan persoalan ini.
Koordinasi dapat dilakukan untuk membenahi ketersediaan sarana dan prasana yang baik dan nyaman yang berada pada tingkat daerah untuk menunjang terlaksananya program guru penggerak tersebut.
Selain itu, penguatan koordinasi juga harus dilakukan untuk mengatasi hambatan di lapangan seperti pertimbangan kondisi geografis masing-masing daerah yang beragam, yang sudah barang tentu juga menjadi faktor penghambat mobilitas para guru dalam mengikuti pelatihan.
Dalam hal ini, patut kiranya pemerintah daerah harus lebih bijak memilih lokasi lokakarya yang kondusif dan dapat dijangkau oleh semua calon guru penggerak. Lokasi medan yang sulit yang harus dilewati oleh para calon guru penggerak pada saat akan mengikuti lokakarya jelas akan mempengaruhi kinerja para guru selama mengikuti pelatihan.
Semoga ke depannya Indonesia akan melahirkan guru-guru yang hebat yang didukung dengan perhatian dan sarana yang baik dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. (*)