DKI Jakarta boleh menyandang seribu gelar, mulai dari ibukota negara sampai pusatnya orang pintar. Tapi, dalam soal menghadapi kekalahan di Pilkada, kalah dewasa dengan Aceh, yang pernah digelari negeri penyuka perang.
Di Aceh, kekalahan tidak sampai menghadirkan kegilaan massal seperti yang terjadi di Batavia. Ahoker, oleh penulis bernama Zei Wei Jian digambarkan mengalami banyak keanehan perilaku.
Di Aceh, kekalahan hanya menghantar mereka ke Mahkamah Konstitusi, dan hanya beberapa elit politik saja yang kompak memarahi Pemerintah Pusat dah Mahkamah Konstitusi.
Puncaknya, hanya satu orang yang mengirimi surat mundur ke partainya, selebihnya ya menerima kekalahan, dan berharap yang kalah bersedia memilih jalan oposisi, dan sebaliknya ada pula yang menawarkan jalan kerjasama.
Di Aceh, tidak ada yang sampai nangis, nangis, pelukan sambil menyesali kekalahan, apalagi sampai telanjang lalu memarahi banyak orang, atau berandai begini atau begitu, saling tuduh, dan lainnya.
Intinya, di Aceh pilkada itu bukan perang ideologi, apalagi perang agama. Jikapun dalam masa pilkada semua isu muncul, itu sebatas isu di musim pilkada, selebihnya wajar saja mensikapi kalah dan menang.
Toh politik bukan soal perang dengan target hidup atau mati. Tidak ada kematian di dalam politik, yang ada adalah kompetisi yang berakhir begitu semua tahapan pilkada selesai.
Rasanya, jika Ahoker masih terus saja belum bisa move on, pinginnya ibukota Indonesia di pindahin aja lima tahun ke Aceh, apalagi jika benar adanya tuduhan Alan Nairn soal ujung dari mengalahkan Ahok adalah kudeta terhadap Jokowi.
“Bangun istana negara aja Pak Jokowi ke kampung bapak di Aceh, atau berkantor di istana wali nanggroe Aceh, pasti aman deh. Ndak bakal ada yang berani lakukan kudeta, serius!”