MEDAN ( Berita ) : Rencana pemerintah membuat aturan rector dipilih oleh Presiden, menuai kritik. Pengamat Politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Dr. Ahmad Taufan Damanik, menilai itu merupakan bentuk perampasan otonomi kampus dalam memilih pemimpinnya.
“Saya kurang sependapat dengan kebijakan itu. Sebab akan menyeret dunia kampus jauh ke area politik, di samping melahirkan muncul ‘agen jabatan’,“ kata Ahmad Taufan Damanik, ketika dihubungi Wartawan,Jumat (2/6), menanggapi bergulirnya kebijakan rektor akan ditentukan Presiden.
Ahmad Taufan Damanik, mengatakan dalam sejarah perguruan tinggi di Indonesia, hanya di era Orde Baru, intervensi pemerintah begitu kuat. Setelah itu kemerdekaan kampus digaungkan kembali. Karena itu pula, sebutnya, dari kampus muncul gerakan reformasi yang kemudian menumbangkan Orde Baru.
Karena itu, lanjut Ahmad Taufan Damani, tidak heran jika struktur dan mekanisme pemilihan rektor yang selama ini masih memberikan kekuasaan besar kepada pemerintah melalui mekanisme kepemilikan 35 persen suara di tangan Menteri Riset/Dikti (dahulu di bawah Menteri Pendidikan), terus dikritik oleh banyak pihak.
Menurut Ahmad Taufan Damanik, perguruan tinnggi dengan otonomi, semestinya memiliki 100 persen suara untuk memilih pemimpinya sendiri, melalui Senat Akademik dan Majelis Wali Amanat.
“Dengan masih adanya suara 35 persen di tangan menteri, sebetulnya sinyal intervensi administratif dari pemerintah ke dalam manajemen kampus masih ada. Baik melalui jalur anggaran, maupun melalui jalur kegawaian,’’ ungkapnya.
Kondisi ini, sebutnya menggabarkan jika kampus di Indonesia belum sepenuhnya merdeka, otonom dari campur tangan pihak luar. Termasuk dari unsur pemodal, yang belakangan ini juga memberikan kontribusi dana ke kampus-kampus.
“Karena itu, rencana memberikan kekuasaan kepada presiden mengangkat rektor, malah semakin menegaskan belum menguatnya otonomi dan kemerdekaan kampus. Dan disisi lain justru memperkuat sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat,” ucap Ahmad Taufan Damnik.
Dia mengatakan, kebijakan tersebut pasti akan mengundang resistensi dari berbagai kalangan, terutama civitas akademika. Padahal, dari segi praktis, akan sangat sulit dikerjakan oleh Presiden di tengah tugas seorang kepala negara luar biasa tinggi.
“Kita sulit membayangkan kemampuan dan kesempatan seorang presiden mengumpulkan informasi komprehensif mengenai siapa kandidat rector yang mesti diangkat untuk suatu universitas tertentu,” kata Taufan Damanik.
Karena itu, menurutnya, kebijakan ini sangat memungkinkan munculnya pihak ketiga yang akan berperan sebagai ‘agen jabatan,’ dan itu tentu saja akan mempertaruhkan nama baik presiden.
Selain itu, efektifitas kebijakan ini juga sangat diragukan.Sebaliknya, sebaliknya pertaruhan politiknya terlampau tinggi, yakni terganggunya otonomi dan kemerdekaan kampus, serta munculnya resistensi terhadap Presiden.
Tidak masuk akal
Lebih jauh, Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan, argumentasi yang mengkhawatirkan kampus-kampus dimasuki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan prinsip kebangsaan lainnya, sama sekali tidak masuk akal. Karena tidak didukung oleh data yang kuat.
Perlu diketahui, sambungnya kampus-kampus selama ini justru menjadi pusat sekularisme. Dengan begitu tidak mungkin ideologi Islam radikal berkembang di dalamnya. Menyebut satu-dua kasus, kata Ahma Taufan Damanik, tentu tidak bisa dijadikan dasar ilmiah untuk mengambil suatu penilaian, untuk melahirkan kebijakan yang justru bertentangan dengan ide prinsipil kemerdkaan dan otonomi kampus.
“Sangat mengkhawatirkan bila logika kecurigaan ideologis dijadikan dasar mengintervensi kampus. Gagasan ini seperti memunculkan kembali otoritarianisme Orde Baru. Saya justru sangat kecewa dengan pemikir-pemikir di sekitar Presiden yang memberikan masukan keliru,” sebut Taufan Damanik. (WSP/m49/I)