Jakarta (ANTARA Sumsel) – Serangan siber peranti lunak jenis “Ransomware” masih menjadi ancaman terbesar dunia digital yang saat ini tengah diadopsi nyaris di seluruh sektor, mulai dari pemerintahan hingga ekonomi, kata Bradley Prentice.
Menurut Bradley, Direktur Pengembangan Pasar Asia Pasifik perusahaan penyedia jasa perlindungan siber yang berpusat di Amsterdam, Irdeto, dalam sebuah sesi wawancara khusus dengan Antara, di Jakarta, Rabu, Ransomware masih menjadi ancaman terbesar dalam dunia digital saat ini.
Ancaman itu, khususnya di kala nyaris semua aspek terhubung dalam jaringan atau biasa dikenal dengan Internet of Things (IoT), kata Bradley, sebelum menghadiri pembukaan temu puncak Ekonomi Digital di Jakarta International Expo (Jiexpo).
Selain pembajakan data (piracy) dan pencurian informasi (copying atau redirected distribution), ransomware merupakan salah satu serangan siber yang saat ini tengah banyak terjadi.
“Mulai dari laman resmi pemerintah hingga perusahaan rentan terkena Ransomware. Serangan itu cukup umum, dan patut mendapat perhatian,” ujar Bradley.
Ia menjelaskan, sistem kerja Ransomware sederhana, misalnya, seorang pembajak (hackers) akan meretas laman tertentu dan meminta sejumlah uang ke pemiliknya agar website tersebut dapat kembali normal.
“Cara kerjanya sederhana, peretas akan masuk ke dalam suatu sistem, dan meminta bayaran (ransom) sebagai tebusan untuk lamannya agar kembali bekerja seperti sedia kala,” kata Bradley lagi.
Sebenarnya, ia menambahkan, cara kerja Ransomware tidak jauh berbeda dari modus para oknum yang kerap menyabotase produk tertentu agar mendapat citra buruk dari publik.
“Dulu sebelum internet berkembang pesat seperti saat ini, ada modus kejahatan yang disebut product tampering. Aksi itu adalah upaya individu atau sekelompok orang menyabotase barang tertentu yang baru diproduksi agar mendapat citra buruk dari masyarakat. Di Amerika Serikat sempat terjadi, sekelompok orang menyuntikkan racun ke obat pereda sakit kepala, dan menyebarkannya ke berbagai toko. Naas, beberapa orang dikabarkan meninggal, dan hasil autopsi menunjukkan, kematian disebabkan obat sakit kepala tersebut,” katanya pula.
Akibatnya bukan cuma korban jiwa, tetapi perusahaan obat itu pun kolaps.
“Pada sisi lain, kebanyakan pelaku melakukan kejahatan tersebut demi uang (ransom). Saat itu, tidak hanya korban jiwa, tetapi perusahaan merugi hingga jutaan dolar AS. Mungkin prosesnya saat ini agak berbeda, tetapi motifnya terkait dengan uang,” ujarnya lagi.
Ia menerangkan, perbedaannya saat ini, kebanyakan aksi para peretas tidak menyebabkan kematian, tetapi hanya ingin menciptakan ketidaknyamanan, dan rasa khawatir para konsumen.
“Kebanyakan mereka ingin membuat para konsumen tidak nyaman. Misalnya, ada modus baru yang terjadi di perusahaan otomotif. Sebut saja, tiba-tiba 10 ribu mobil di Indonesia yang sudah terhubung dengan internet diretas, hingga mengalami kerusakan minor, hingga mereka harus membawanya ke diler,” kata Bradley.
Pada saat diler ini tengah menerima keluhan dari pengguna puluhan ribu mobil, ia menjelaskan, peretas itu menelepon dan menawarkan bantuan.
“Peretas itu mengatakan, daripada diler mobil harus mengeluarkan uang 10 juta dolar AS untuk memperbaiki kerusakan, dirinya dapat membantu mengatasi masalah hanya jika penjual tersebut memberinya uang satu juta dolar AS,” katanya pula.
“Modus semacam itu harus diperhatikan saat ini, khususnya di saat nyaris seluruh aspek di dunia telah terkoneksi ke internet,” kata Direktur Irdeto itu lagi.
Tingkatkan kesadaran
Di tengah besar ancaman siber, meningkatkan kesadaran terhadap berbagai risiko merupakan langkah awal yang mesti dilakukan demi mengantisipasi serangan dalam jaringan, kata Bradley pula.
“Sebagai langkah awal, penting untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap risiko dan ancaman siber,” ujarnya.
Setelah mengetahui serangan yang mungkin dihadapi, langkah berikutnya, menyusun berbagai strategi atau mengalokasikan sejumlah dana untuk melindungi aset digital.
“Selanjutnya, membuat prioritas. Aset apa yang harus mendapat perlindungan lebih dulu,” katanya lagi.
Di samping itu, langkah pencegahan yang juga penting, memasukkan tema keamanan siber dan teknologi dalam kurikulum pendidikan formal.
“Saya pikir, pelajaran mengenai teknologi dan risikonya perlu diturutsertakan dalam pendidikan formal. Tidak hanya itu, anak-anak di sekolah juga sebaiknya mendapat pelajaran mengenai bahasa membuat program (coding),” demikian Bradley.
Editor: Indra Gultom
COPYRIGHT © ANTARA 2017