» Pendapatan per kapita penduduk Indonesia 4.050 dollar AS hanya berselisih 4 dollar AS dengan batas bawah upper middle income 4.046 dollar AS.
» Kesenjangan pendapatan jadi masalah yang harus segera diselesaikan
JAKARTA – Penyematan status Indonesia sebagai negara upper middle income atau berpendapatan menengah ke atas oleh Bank Dunia seharusnya tidak dipandang sebagai prestasi yang membanggakan. Sebab, status tersebut berpotensi turun kembali jika dampak Covid-19 memengaruhi pendapatan hampir semua penduduk Indonesia.
Bank Dunia mulai 1 Juli 2020 telah menaikkan status Indonesia dari negara berpendapatan menengah bawah atau (lower middle income) menjadi upper middle income setelah Gross National Income (GNI) per kapita pada 2019 naik menjadi 4.050 dollar AS per tahun dari sebelumnya 3.840 dollar AS per tahun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, kepada Koran Jakarta, Jumat (3/7), mengatakan kenaikan itu jika dilihat posisinya sangat mepet. Sebab, batas bawah upper middle income hanya selisih empat dollar AS.
“Rentang upper middle income dari GNI 4.046 dollar AS hingga 12.535 dollar AS, sementara Indonesia baru 4.050 dollar AS. Jadi memang naik, tetapi tidak terlalu besar dan dekat dengan batas bawah,” kata Tauhid.
Dengan selisih baru empat dollar AS dari batas bawah, Tauhid menilai posisi tersebut sangat sensitif turun lagi, terutama jika basis data 2020 menggunakan yang update. Setelah pandemi, dia yakin tingkat kesejahteraan masyarakat berpotensi turun, sehingga bisa kembali ke status low middle income.
“Lain halnya kalau pendapatan kita sudah 4.100 atau 4.150 dollar AS baru bagus. Jadi, kita sebenarnya masih negara berkembang, masih jauh untuk keluar dari middle income, artinya bahwa memang kita belum dikatakan negara sejahtera karena negara sejahtera itu yang di atas 12.000 dollar AS, jadi masih panjang jalannya,” kata Tauhid.
Ekonom Universitas Surakarta, R. Agus Trihatmoko, mengatakan peran kelompok ekonomi atas atau elite masih mendominasi perekonomian nasional dengan kontribusi di atas 70 persen. Hal itu berarti upper middle income masih disumbang kelompok masyarakat tertentu yang jumlahnya sekitar 1 persen atau 3,8 juta jiwa.
“Kalau dibandingkan dengan kondisi yang riil, ketika status naik menjadi upper middle income, kemiskinan masih tinggi. Hal ini disebabkan terjadinya kesenjangan antara kelompok ekonomi marjinal dengan kelompok ekonomi atas,” kata Agus.
Tingkat penghasilan dengan rata-rata tiga juta rupiah per bulan dinilainya mencapai ratusan juta penduduk, sedangkan dengan pekerja level manajer ke atas dengan gaji 20–25 juta rupiah sampai pengusaha kurang dari 2 persen dari total penduduk. “Ini yang menjadi masalah, kemajuan atau kinerja ekonomi selalu bertentangan dengan kesejahteraan riil masyarakat,” katanya.
“Middle Income Trap”
Kenaikan status, tambah Agus, tidak mencerminkan kondisi sebenarnya rata-rata penduduk. Kenaikan pendapatan malah menggelembung di tingkat masyarakat kelompok elite terutama kalangan konglomerat.
Presiden Joko Widodo dalam sambutan virtual pada acara peringatan 100 Tahun Institut Teknologi Bandung (ITB), Jumat (3//7), mensyukuri kenaikan peringkat Indonesia tersebut dan menjadi peluang untuk terus maju melakukan lompatan masuk ke negara berpenghasilan tinggi. “Kita harus berhasil keluar dari middle income trap (jebakan pendapatan menengah-red),” kata Presiden.
Presiden pun mengajak keluarga besar ITB turut mengawal capaian tersebut dengan berkontribusi di masyarakat. Jokowi meminta keluarga besar ITB untuk turut serta menyukseskan upaya pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang unggul.
“ITB terus berkontribusi dalam pembangunan bangsa menciptakan sumber daya manusia, SDM yang unggul dan andal serta menghasilkan inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi rakyat dan masyarakat,” kata Presiden.
Dalam kesempatan terpisah, Deputi III Kantor Staf Presiden, Panutan Sakti Sulendra Kusuma, menyampaikan skenario terberat yang mungkin timbul sebagai dampak pandemi virus korona, Covid-19, di Tanah Air yakni jumlah masyarakat miskin meningkat pesat. “Jumlah orang miskin akan bertambah sebanyak 3,78 juta orang,” kata Panutan.
Selain itu, jumlah pengangguran diprediksi bertambah 3,78 juta orang. Lalu, pertumbuhan ekonomi akan minus 0,4 persen. “Ini beberapa hitungan yang dampaknya memang cukup serius,” kata Panutan. n uyo/yni/fdl/E-9