Kebijakan Fiskal – RI Harus Mengubah Struktur Ekspor dari Komoditas ke Manufaktur
Penarikan utang luar negeri oleh pemerintah selama ini cenderung hanya untuk menutupi defisit anggaran, tanpa diarahkan ke sektor pembangunan yang lebih produktif.
JAKARTA- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance, Ahmad Heri Firdaus, di Jakarta, Rabu (28/6), mengatakan jumlah utang Indonesia saat ini sudah mengkhawatirkan karena semua penerimaan negara hanya digunakan untuk membayar cicilan dan bunga.
“Kalau kita punya penerimaan 1.500 triliun rupiah, semuanya digunakan untuk membayar cicilan sehingga untuk belanja pegawai terpaksa menarik utang lagi. Hal ini berpotensi menimbulkan jebakan likuiditas,” kata Heri.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, utang Indonesia selama Mei 2017 naik lima triliun rupiah menjadi 3.672,43 triliun rupiah dari posisi April 2017 pada posisi 3.667,41 triliun rupiah.
Dibandingkan dengan Jepang, rasio utangnya memang lebih besar, tetapi produktivitas ekonominya lebih mapan sehingga posisinya lebih aman dibanding Indonesia yang rasio utangnya lebih rendah.
“Jangan sampai Indonesia sebagai negara middle income kena jebakan likuiditas. Itu bahaya karena tidak memiliki ruang fiskal untuk melakukan lompatan,” kata Heri.
Pada akhirnya, jebakan likuiditas tersebut akan merugikan masyarakat miskin karena semua dana sosial dipastikan akan terpangkas karena subsidi dicabut.
Menurut Heri, masih bergantungnya pemerintah terhadap utang karena belum mampu mengoptimalkan penerimaan pajak. Walaupun berbagai upaya meningkatkan penerimaan terus dilakukan, tetapi belanja tetap membengkak, termasuk anggaran untuk membayar bunga utang.
“Kalau dalam jangka panjang, kita gali lubang tutup lubang. Artinya, kita punya beban fiskal yang cukup berat,” katanya.
Produktivitas
Chief Economist and Director for Investor Relations PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, kurang sependapat dengan Heri. Budi mengatakan utang Indonesia terhadap PDB masih wajar, yang menjadi permasalahan adalah produktivitas dari utang itu sendiri.
“Buktinya yield obligasi negara pasti naik, tetapi selama tahun berjalan turun. Artinya, orang suka sama utang kita,” kata Budi.
Produktivitas utang, jelasnya, semestinya bisa dipacu, misalnya dengan biaya utang 4 persen kalau bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 5 persen, bisa dikatakan utangnya masih bagus.
“Jangan sampai biaya utangnya 10 persen, ekonominya hanya tumbuh 5 persen. Itu keliru karena utang konsumtif. Jadi, utang produktif itu pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari biaya utang,” katanya.
Kemudian, untuk melihat utang bisa dari coverage utang atau berapa persen hasil ekspor untuk membiayai cicilan pokok dan pembayaran bunga. Indonesia punya masalah di situ, yakni hanya sekitar 52 persen.
“Indonesia harus mengubah struktur ekspor ke manufaktur. Kalau manufaktur bisa lebih besar, coveragenya. Jadi reformasinya harus di sektor industri, sektor perdagangan internasional.
Budi optimistis pemerintah masih mampu membayar utang, meskipun, tax rasio Indonesia masih rendah kurang dari 12 persen. Padahal, negara lain, sudah mencapai 35 persen. Apalagi ditunjang penduduk muda yang produktif dan tingkat urbanisasi yang sangat besar sehingga potensi ekonomi tumbuh sangat terbuka. ach/E-9