JAKARTA – Vaksin ditemukan oleh Edward Jenner pertama kali pada 1796 untuk mengobati penyakit cacar (smallpox). Sejak saat itu, vaksin terus dikembangkan karena diakui dan terbukti dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri tertentu.
Vaksin sendiri adalah antigen atau zat aktif pada virus dan bakteri yang apabila disuntikkan, dapat menimbulkan reaksi sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus atau penyakit tersebut.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Cissy Rachiana Sudjana mengatakan vaksin itu adalah zatnya dan proses pemasukkannya ke dalam tubuh disebut vaksinasi. Imunisasi adalah reaksi dari tubuh kita setelah mendapatkan vaksin. Badan akan dirangsang untuk membentuk anti bodi pada sistem kekebalan tubuh.
“Selain anti bodi, badan akan menghasilkan sel memori, jadi sistem kekebalan kita bisa memproduksi anti bodi untuk segala macam penyakit yang tidak baik,” terangnya belum lama ini.
Dampak imunisasi terhadap turunnya penularan penyakit tercatat sangat besar. Beberapa vaksin berhasil menekan penyebaran penyakit tertentu seperti haemophilus influenza, radang paru, penyakit gondok, rubella, hingga tifus. Semua penyakit tersebut menurun jumlah penularannya, seiring dengan dilakukannya imunisasi.
Masyarakat juga tidak perlu ragu dengan keamanan vaksin. Jaminan keamanan vaksin terus dilakukan pada tiap fase uji klinik, sehingga produk akhirnya dipastikan aman, efektif, dan berkhasiat.
Pada tahap awal, produsen vaksin mengidentifikasi dahulu calon vaksin yang hendak dibuat. Calon vaksin yang terpilih adalah yang mampu menghasilkan zat antibodi terbaik. Saat sudah aman dan menghasilkan zat antibodi yang kuat, terutama pada uji pra klinik yang diujicobakan pada hewan, barulah pengujian diteruskan ke uji klinik pada manusia.
Fase uji klinik pada manusia terbagi menjadi tiga tahap. Pada fase I ditujukan untuk menguji respons imun pada sekelompok orang dengan jumlah di bawah 100. Ketika fase I aman dan efektif, maka dilanjutkan ke fase II untuk diuji keamanan dan efikasinya lebih jauh lagi pada jumlah subyek 400-600 orang.
Apabila fase II sudah aman, bisa lanjut ke fase III untuk mengetahui apakah ada efek samping yang jarang terjadi yang biasanya muncul saat diujikan ke jumlah subyek yang mencakup ribuan atau puluhan ribu orang. Setelah melalui uji klinik fase III dan tidak terdapat efek samping, maka vaksin tersebut ditetapkan aman, efektif, dan berkhasiat
“Pada fase III ini biasanya pengujian vaksin dilakukan di beberapa negara (multi center). Setelah melewati fase-fase tersebut, BPOM bisa menerbitkan izin edar setelah mempelajari data-data uji klinik tersebut. Ini yang disebut fase IV atau Post Marketing Study,” papar dia. mad/E-10