Dua peristiwa pada akhir pekan lalu ramai jadi perbincangan di berbagai media sosial. Warga menyandingkan peristiwa di Tuban, Jawa Timur dengan Buaran, Jakarta Timur. Peristiwa pada Sabtu di Tuban berakhir dengan melayangnya 6 jiwa. Sedangkan peristiwa Minggu di Buaran, meski diiringi letusan senjata, tak ada jiwa yang melayang.
Hilangnya enam nyawa itu membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berencana mengirimkan tim untuk memastikan polisi tak salah prosedur saat menyergap terduga teroris. Komnas akan mengumpulkan fakta dari sejak terduga berupaya menyerang hingga akhirnya tewas ditembak Densus 88. Komnas HAM mengklaim sudah memberikan kritik keras terkait penanganan terduga terorisme yang dilakukan Densus. Bagi Komnas HAM, sepatutnya digunakan cara yang tidak mematikan, tanpa kekerasan, dan kalau bisa tanpa menggunakan senjata api. Mungkinkah?
Pada peristiwa penyanderaan seorang ibu dan bayinya di Buaran, meski tak jatuh korban jiwa toh juga tetap muncul protes. Bedanya, sebagian warga net menyayangkan polisi yang tak menembak mati penyandera. Alasannya, tembakan yang tak mematikan membuat penyandera memungkinkan untuk menyakiti sandera. Sementara sebagian lagi salut dengan kemampuan polisi yang mampu menembak jitu lengan penyandera yang menggenggam pisau.
Dalam setiap peristiwa tindakan akan menyesuaikan dengan situasi yang terjadi di lapangan. Umumnya, aparat memberi kesempatan pada kriminal untuk secara sukarela menyerahkan diri. Bila prosedur persuasif itu tak diambil, maka tindakan tegas baru dilakukan. Itupun dengan memperhitungkan meminimalkan jatuhnya korban, baik petugas atau orang di sekitarnya.
Itu sebab, Mabes Polri mesti memberi akses seluasnya bagi Komnas HAM. Demi memastikan, penindakan aparat di lapangan dilakukan dengan prosedur yang benar.